22 July 2013

Bahtsul Masail by: Oriska Biri


Karakteristik utama Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia adalah tradisi Intelektualnya yang moderat, yang apresiatif terhadap khazanah pemikiran masa lalu maupun budaya lokal, dan kemampuannya menyerap tradisi pemikiran baru yang datang dari manapun melintasi batas negara, agama, dan ideologi.Secara formal Nahdlatul Ulama menganut empat madzhab (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali). Dalam praktek pengambilan keputusan hukum, Nahdlatul Ulama ternyata tidak hanya menggunakan empat madzhab, tetapi juga menggunakan madzhab lain dan mengikuti pendapat para Ulama di masa sekarang ini yang tidak termasuk dalam madzhab.Di samping itu Nahdlatul Ulama sengaja tidak menggunakan dalil-dalil yang terdapat di dalam al-Qur’an maupun as-Sunah (al-Hadist). Nahdlatul Ulama merupakan jendela pemikiran Indonesia. Dalam kebiasaannya mengambil keputusan hukum sebagai jawaban atas persoalan yang terjadi di masyarakat, NU juga sangat fleksibel.
Nahdlatul Ulama dalam putusannya, mengadakan sebuah forum pembahasan masalah atau yang biasa disebut dengan Bahtsul Masail. Lalu, apakah Bahtsul Masail NU itu?.Dalam Makalah ini akan mencoba untuk menjelaskan mengenai, apakah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama itu.
Studi tentang Bahtsul Masail merupakan forum pembahasan mengenai masalah-masalah yang muncul dikalangan masyarakat yang belum ada hukum dan dalilnya dalam agama.[2]Lajnah Bahtsul Masail (lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan) adalah salah satu lajnah (lembaga) dalam Jam’iyyah NU yang berfungsi sebagai suatu forum pengkajian yang membahas berbagai masalah keagamaan (Islam). Lajnah ini Menghimpun, membahas , dan memutuskan masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum dalam bidang fiqih yang mengacu kepada empat madzhab : Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.[3]Yang dimaksud dengan hukum Fiqih di sini adalah hukum Syar’iy (hukum agama) yang digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal (argumentasi) para mujtahid, baik mujtahid mutlak maupun yang tidak mutlak, baik secara individual maupun kolektif, mengenai suatu masalah praktis dan bersifat cabang yang didasarkan atas dugaan kuat terhadap dalil-dalil yang terperinci.[4] Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan Ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren. Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi’ah) yang dialami oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi ataupun perorangan.[5]
Dari segi Historis maupun operasionalitas, Bahtsul Masail NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan “berwawasan luas”. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masail) yang digarap selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat.[6]Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun yang muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan “berwawasan luas” sebab dalam Bahtsul Masail tidak ada dominasii madzhab dan selalu sepakat dalam khilaf.[7]
Secara historis forum  Bahtsul Masail  telah ada sebelum NU berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi dikalangan Pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam bulletin LINO (Lailatul Ijtima’ Nahdlatul Oelama). Dalam LINO, selain memuat hasil bahtsul masail juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama. Sering muncul kritik bahwa forum bahtsul masail NU tidak dinamis, hanya berorientasi pada qaul (pernyataan verbal) ulama bukan manhaj (metodologi) dan syafi’iyyah sentris.[8]
Telah banyak penelitian dan karya ilmiah yang membahas tentang NU dengan kecenderungan mengambil tema-tema yang bernuansa politik, faham keagamaan, maupun tokohnya. Penelitian tentang NU yang terkait dengan fiqih masih sangat sedikit, itupun dengan kecenderungan tematis. Ada juga beberapa studi terdahulu yang memusatkan kajiannya pada produk hukum maupun metode ijtihad lembaga sejenis Lajnah Bahtsul Masa’il dari institusi atau organisasi kemasyarakatan Islam yang lain.Penelitian ilmiah yang membahas tentang Lajnah Bahtsul Masa’il, sampai saat penelitian ini dilakukan pada akhir tahun 1996 belum diketahui adanya.[9]
Dalam halaqah juga disepakati perlunya melengkapi referensi madzahib selain syafi’i dan perlunya penyusunan sistematika bahasan yang mencakup pengembangan metode-metode dan proses pembahasan untuk mencapai tingkat kedalaman dan ketuntasan suatu masalah. Rumusan “Fiqih baru” ini kemudian dibahas secara intensif  pada muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam munas Alim Ulama di Lampung, 1992. Di dalam hasil munas tersebut di antaranya disebutkan perlunya bermadzhab secara manhajy (metodologis) serta merekomendasikan para kiai NU yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung pada teks dasar. Jika tidak mampu maka dilakukan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif). Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun “ilhaq” (qiyas).[10]
Pengertian istinbath al-ahkam  dikalangan NU bukan mengambil langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qura’an dan Sunnah akan tetapi –sesuai denga sikap dasar bermadzhab- mentathbiqkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama (menggali secara langsung dari al-Qur’an dan Hadis) cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh para ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatsan-keterbatsan yang didasari oleh mereka. Terutama dibidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya mujtahid. Sementara itu, istinbath  dalam pengertiannya yang kedua, selainpraktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku.[11]


KESIMPULAN
Bahtsul Masa’il NU adalah suatu forum atau lembaga yang mengkaji masalah-masalah kemasyarakatan, entah itu masalah keagamaan, politik, sosial, maupun masalah ekonomi sesuai dengan sumber data yang digunakan, yaitu al-Qur’an dan al-Hadist atau     as-Sunnah. Tetapi selain dari sumber tertulis seperti al-Qur’an dan Sunnah tersebut, ada juga sumber tidak tertulisnya yaitu para ulama dari kalangan NU, pesantren dan siapa saja yang terlibat dalam bahtsul masa’il, serta para intelektual yang lainnya.


[1] Mahasiswa Prodi IKS, NIM 12250110, kelas C
[2] Arif Maftuhin, Bahan Ajar Kuliah Fiqih Ushul Fiqih, Yogyakarta : Tim pokja UIN sunan kalijaga, h.140
[3] Dr. Ahmad Zahro, Lajnah bahtsul masail 1926-1999 Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, h. 3
[4] Dr. Ahmad Zahro, Lajnah bahtsul masail 1926-1999 Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, h. 6
[5] Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh , Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Mukatamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Surabaya : Khalista, h. vi
[6] ibid
[7] Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh , Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Mukatamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Surabaya : Khalista, h. vi
[8] Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh , Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Mukatamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Surabaya : Khalista, h. vii
[9]Dr. Ahmad Zahro, Lajnah bahtsul masail 1926-1999 Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, h. 8
[10]Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh , Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Mukatamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Surabaya : Khalista, h. viii
[11]Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh , Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Mukatamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Surabaya : Khalista, h. viii-ix

No comments:

Post a Comment