Karakteristik
utama Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia
adalah tradisi Intelektualnya yang moderat, yang apresiatif terhadap khazanah
pemikiran masa lalu maupun budaya lokal, dan kemampuannya menyerap tradisi
pemikiran baru yang datang dari manapun melintasi batas negara, agama, dan
ideologi.Secara formal Nahdlatul Ulama menganut empat madzhab (Madzhab Hanafi,
Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali). Dalam praktek
pengambilan keputusan hukum, Nahdlatul Ulama ternyata tidak hanya menggunakan
empat madzhab, tetapi juga menggunakan madzhab lain dan mengikuti pendapat para
Ulama di masa sekarang ini yang tidak termasuk dalam madzhab.Di samping itu
Nahdlatul Ulama sengaja tidak menggunakan dalil-dalil yang terdapat di dalam
al-Qur’an maupun as-Sunah (al-Hadist). Nahdlatul Ulama merupakan jendela
pemikiran Indonesia. Dalam kebiasaannya mengambil keputusan hukum sebagai
jawaban atas persoalan yang terjadi di masyarakat, NU juga sangat fleksibel.
Nahdlatul
Ulama dalam putusannya, mengadakan sebuah forum pembahasan masalah atau yang
biasa disebut dengan Bahtsul Masail. Lalu, apakah Bahtsul Masail NU itu?.Dalam
Makalah ini akan mencoba untuk menjelaskan mengenai, apakah Bahtsul Masail Nahdlatul
Ulama itu.
Studi
tentang Bahtsul Masail merupakan forum pembahasan mengenai masalah-masalah yang
muncul dikalangan masyarakat yang belum ada hukum dan dalilnya dalam agama.[2]Lajnah
Bahtsul Masail (lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan) adalah salah satu
lajnah (lembaga) dalam Jam’iyyah NU
yang berfungsi sebagai suatu forum pengkajian yang membahas berbagai masalah
keagamaan (Islam). Lajnah ini Menghimpun, membahas , dan memutuskan
masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum dalam bidang fiqih yang mengacu
kepada empat madzhab : Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.[3]Yang
dimaksud dengan hukum Fiqih di sini adalah hukum Syar’iy (hukum agama) yang digali dan ditemukan melalui penalaran
dan istidlal (argumentasi) para
mujtahid, baik mujtahid mutlak maupun yang tidak mutlak, baik secara individual
maupun kolektif, mengenai suatu masalah praktis dan bersifat cabang yang
didasarkan atas dugaan kuat terhadap dalil-dalil yang terperinci.[4]
Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan Ulama-ulama NU yang berada di luar
struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren. Masalah-masalah yang
dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi’ah)
yang dialami oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada Syuriyah oleh
organisasi ataupun perorangan.[5]
Dari
segi Historis maupun operasionalitas, Bahtsul
Masail NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan “berwawasan
luas”. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masail) yang digarap selalu mengikuti
perkembangan (trend) hukum di masyarakat.[6]Demokratis
karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik yang
tua maupun yang muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil.
Dikatakan “berwawasan luas” sebab dalam Bahtsul
Masail tidak ada dominasii madzhab dan selalu sepakat dalam khilaf.[7]
Secara
historis forum Bahtsul Masail telah ada sebelum NU berdiri. Saat itu sudah
ada tradisi diskusi dikalangan Pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang
hasilnya diterbitkan dalam bulletin LINO (Lailatul Ijtima’ Nahdlatul Oelama).
Dalam LINO, selain memuat hasil bahtsul
masail juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama.
Sering muncul kritik bahwa forum bahtsul
masail NU tidak dinamis, hanya berorientasi pada qaul (pernyataan verbal) ulama bukan manhaj (metodologi) dan syafi’iyyah sentris.[8]
Telah
banyak penelitian dan karya ilmiah yang membahas tentang NU dengan
kecenderungan mengambil tema-tema yang bernuansa politik, faham keagamaan,
maupun tokohnya. Penelitian tentang NU yang terkait dengan fiqih masih sangat
sedikit, itupun dengan kecenderungan tematis. Ada juga beberapa studi terdahulu
yang memusatkan kajiannya pada produk hukum maupun metode ijtihad lembaga
sejenis Lajnah Bahtsul Masa’il dari institusi atau organisasi kemasyarakatan
Islam yang lain.Penelitian ilmiah yang membahas tentang Lajnah Bahtsul Masa’il,
sampai saat penelitian ini dilakukan pada akhir tahun 1996 belum diketahui
adanya.[9]
Dalam
halaqah juga disepakati perlunya melengkapi referensi madzahib selain syafi’i dan perlunya penyusunan sistematika bahasan
yang mencakup pengembangan metode-metode dan proses pembahasan untuk mencapai
tingkat kedalaman dan ketuntasan suatu masalah. Rumusan “Fiqih baru” ini
kemudian dibahas secara intensif pada
muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam munas Alim
Ulama di Lampung, 1992. Di dalam hasil munas tersebut di antaranya disebutkan
perlunya bermadzhab secara manhajy
(metodologis) serta merekomendasikan para kiai NU yang sudah mempunyai
kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath
langsung pada teks dasar. Jika tidak mampu maka dilakukan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif).
Bentuknya bisa istinbath (menggali
dari teks asal/dasar) maupun “ilhaq”
(qiyas).[10]
Pengertian
istinbath al-ahkam dikalangan NU bukan mengambil langsung dari
sumber aslinya, yaitu al-Qura’an dan Sunnah akan tetapi –sesuai denga sikap
dasar bermadzhab- mentathbiqkan
(memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang
dicari hukumnya. Sedangkan istinbath
dalam pengertian pertama (menggali secara langsung dari al-Qur’an dan Hadis)
cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh para ulama NU dirasa sangat sulit
karena keterbatsan-keterbatsan yang didasari oleh mereka. Terutama dibidang
ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya
mujtahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertiannya yang kedua, selainpraktis,
dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat kitab
fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku.[11]
KESIMPULAN
Bahtsul
Masa’il NU adalah suatu forum atau lembaga yang mengkaji masalah-masalah
kemasyarakatan, entah itu masalah keagamaan, politik, sosial, maupun masalah
ekonomi sesuai dengan sumber data yang digunakan, yaitu al-Qur’an dan al-Hadist
atau as-Sunnah. Tetapi selain dari
sumber tertulis seperti al-Qur’an dan Sunnah tersebut, ada juga sumber tidak
tertulisnya yaitu para ulama dari kalangan NU, pesantren dan siapa saja yang
terlibat dalam bahtsul masa’il, serta
para intelektual yang lainnya.
[1]
Mahasiswa Prodi IKS, NIM 12250110, kelas C
[2] Arif
Maftuhin, Bahan Ajar Kuliah Fiqih Ushul Fiqih, Yogyakarta : Tim pokja UIN sunan
kalijaga, h.140
[3] Dr.
Ahmad Zahro, Lajnah bahtsul masail 1926-1999 Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta
: LkiS Yogyakarta, h. 3
[4] Dr.
Ahmad Zahro, Lajnah bahtsul masail 1926-1999 Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta
: LkiS Yogyakarta, h. 6
[5] Dr. KH.
MA. Sahal Mahfudh , Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,
Keputusan Mukatamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Surabaya :
Khalista, h. vi
[6] ibid
[7] Dr. KH.
MA. Sahal Mahfudh , Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,
Keputusan Mukatamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Surabaya :
Khalista, h. vi
[8] Dr. KH.
MA. Sahal Mahfudh , Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,
Keputusan Mukatamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Surabaya :
Khalista, h. vii
[9]Dr. Ahmad
Zahro, Lajnah bahtsul masail 1926-1999 Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta :
LkiS Yogyakarta, h. 8
[10]Dr. KH.
MA. Sahal Mahfudh , Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,
Keputusan Mukatamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Surabaya :
Khalista, h. viii
[11]Dr. KH.
MA. Sahal Mahfudh , Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,
Keputusan Mukatamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Surabaya :
Khalista, h. viii-ix
No comments:
Post a Comment