A. Sejarah Munculnya
Perbankan di Dunia Islam
Sistem perbankan telah muncul di dunia Islam sejak
kedatangan penjajah Barat menyerbu ke berbagai negeri Islam. Di negeri-negeri
jajahannya, mereka menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang bertumpu kepada
sistem perbankan (riba). Di Indonesia muncul bank pertama, yaitu Bank Priyayi,
tahun 1846 di Purwokerto, dengan pendirinya Raden Bei Patih Aria Wiryaatmaja
dari kalangan keraton. Kemudian secara meluas di berbagai daerah, berdiri Bank
Rakyat (Volksbank); antara lain di Garut (1898), Sumatera Barat (1899), dan
Menado (1899).
Dalam menanamkan sistem perbankan ini, penjajah
Belanda mendirikan Sentral Kas, tahun 1912, yang berfungsi sebagai pusat
keuangan. Dari kalangan intelektual, didirikanlah Indonesische Studie Club di
Surabaya tahun 1929. Kemudian Belanda, dalam menyuburkan sistem riba,
mendirikan Algemene Volkscredit Bank (AVB) tahun 1934.
Pada tahun-tahun pertama setelah terusirnya pejajah
Belanda dari Indonesia, didirikanlah Yayasan Pusat Bank Indonesia tahun 1945,
yang menjadi cikal bakal Bank Indonesia sekaligus memberikan rekomendasi
pendirian bank-bank yang ada. Melalui PP No.1, tahun 1946, lahirlah Bank Rakyat
Indonesia (BRI). Pada tahun yang sama, menyusul berdirinya Bank Negara
Indonesia (BNI) 1946. Kemudian jumlah bank semakin bertambah banyak. Di
antaranya Bank Industri Negara (BIN, 1952), Bank Bumi Daya (BBD, 19 Agustus
1959). Bank Pembangunan Industri (BPI, 1960), Bank Dagang Negara (BDN, 2 April
1960), Bank Export-Import Indonesia (Bank Exim) yang dinasionalisasikan pada 30
Nopember 1960. Pada tahun-tahun berikutnya sampai sekarang, dunia perbankan
tumbuh seperti jamur di musim hujan.
Secara garis besar, dunia perbankan di Indonesia
didominasi oleh bank-bank yang menjadi Badan Usaha Milik Negara/BUMN (misalnya
BNI 1946, BRI, BDN) dan bank-bank milik swasta. Untuk yang pertama, jumlahnya
tidak terlalu banyak. Tetapi untuk yang kedua, ia terbagi ke dalam tiga
kategori; yaitu swasta asli Indonesia (misalnya Bank Susila Bakti, Bank Arta
Pusara, Bank Umum Majapahit), swasta merger bank luar (misalnya Lippo Bank,
BCA, Bank Summa), dan bank luar tulen (misalnya Chase Manhattan, Deutsche Bank,
Hongkong Bank, Bank of America).
Untuk melihat perkembangan perbankan di Indonesia,
saat ini telah dibangun sejumlah 2652 bank (tidak termasuk BRI dan BRI Unit
Desanya). Menurut standard Amerika ditilik dari jumlah penduduk Indonesia,
maka negeri ini masih memerlukan 7800 bank lagi.
B. Bank Konvensional VS Bank Syariah
Konvensional sebenarnya berasal dari bahasa Inggris
“convention”, dalam bahasa Indonesia berarti pertemuan, jadi bank konvensional
adalah bank yang mekanisme operasinya berdasarkan sistem yang disepakati
bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan). Namun secara realita, sistem
perbankan yang menggunakan bunga ini tidak pernah disepakati bersama dalam
suatu konvensi apapun. Hal inilah yang kemudian menyebabkan bunga yang di ambil
oleh Bank konvensional menjadi riba, sedangkan riba dalam sistem ekonomi Islam
adalah sesuatu yang diharamkan, karena mengambil sesuatu yang bukan hak milik
demi mendapatkan keuntungan sama saja dengan mencuri. Pengertian bank menurut
Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7
tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak. Di Indonesia, menurut jenisnya bank terdiri dari Bank
Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 menyebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran. Pada bank konvensional, prinsip yang digunakan adalah:
1.
Bunga sudah ditentukan besarnya terlebih dahulu oleh bank tanpa
memperhitungkan apakah bank sedang mendapatkan keuntungan atau tidak.
2.
Besarnya bunga adalah tetap, baik bank sedang rugi atau laba. Walaupun
ekonomi sedang baik dan bank sedang mendapatkan banyak laba, akan tetapi tetap
bunga yang diberikan kepada nasabah tidak bertambah.
Bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada
bunga. Bank syariah juga dapat diartikan sebagai lembaga keuangan/perbankan
yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits
Nabi SAW. Bank syariah adalah salah satu bentuk dari bank modern yang
didasarkan pada hukum Islam yang sah, dikembangkan pada abad pertama Islam,
menggunakan konsep berbagi risiko sebagai metode utama, dan meniadakan keuangan
berdasarkan kepastian serta keuntungan yang ditentukan sebelumnya. Bank syariah
adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa
lain dalam lalu-lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi dengan
prinsip-prinsip syariah (hukum Islam).
Bank syariah menggunakan prinsip :
1. Tidak menawarkan bunga tetapi bagi hasil dan yang
ditetapkan terlebih dahulu adalah rasio (nisbah) antara bagian keuntungan yang
didapat nasabah dan bagian keuntungan yang didapat oleh bank, misalnya 60:40
artinya 60 persen keuntungan bagi nasabah dan 40 persen keuntungan bagi bank.
Karena itu bagian keuntungan yang diterima nasabah tergantung dari keuntungan
yang didapat oleh bank.
2. Besarnya keuntungan yang diterima oleh nasabah akan
meningkat apabila keuntungan bank sedang baik dan begitu juga sebaliknya.
C. Perbedaan Falsafah Bank Konvensional dan Bank
Syariah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada
landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga
dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya. Hal
inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang
dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka
sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan
dalam bentuk bagi hasil.
Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan melalu bank
syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara
sederhana berarti sistem bunga berbunga yang dalam semua prosesnya bisa
mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak. Riba, sangat berpotensi
untuk mengakibatkan keuntungan besar disuatu pihak namun kerugian besar dipihak
lain, atau malah ke dua-duanya.
1. Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu
dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, dan mendistribusikannya. Hal ini
merupakan fungsi dan peran yang melekat pada Bank syariah untuk penggunaan
dana-dana sosial (zakat. Infak, sedekah)
2. Produk
Bank syariah
tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi bekerja sama atas dasar
kemitraan, seperti prinsip bagi hasil (mudharabah), prinsip penyertaan modal
(musyarakah), prinsip jual beli (murabahah), dan prinsip sewa (ijarah).
Sedangkan pada Bank konvensional terdapat deposito, pinjaman uang tunai
berbunga, dll.
3. Tujuan
Prinsip laba
bagi Bank syariah bukan satu-satunya tujuan karena Bank syariah mengupayakan
bagaimana memanfaatkan sumber dana yang ada untuk membangun kesejahteraan masyarakat.
D. Hukum Bunga Bank
Konvensional dan Bank Syariah
Bunga
bank sendiri dapat diartikan berupa ketetapan nilai mata uang oleh bank yang
memiliki tempo/tenggang waktu, untuk kemudian pihak bank memberikan kepada
pemiliknya atau menarik dari si peminjam sejumlah bunga (tambahan) tetap
sebesar beberapa persen, seperti lima atau sepuluh persen. Dengan kata lain bunga bank adalah sebuah
system yang diterapkan oleh bank-bank konvensional (non Islam) sebagai
suatu lembaga keuangan yangmana fungsi utamanya menghimpun dana untuk kemudian
disalurkan kepada yang memerlukan
dana (pendanaan), baik perorangan maupun badan usaha, yang berguna untuk
investasi produktif dan lain-lain.
Bunga
bank ini termasuk riba, sehingga bunga bank juga diharamkan dalam ajaran Islam.
Bedanya riba dengan bunga/rente (bank) yakni riba adalah untuk pinjaman yang
bersifat konsumtif, sedangkan bunga/rente (bank) adalah untuk pinjaman yang
bersifat produktif. Namun demikian, pada hakikatnya baik riba, bunga/rente atau
semacamnya sama saja prakteknya, dan juga memberatkan bagi peminjam.
Maka dari
itu solusinya adalah dengan mendirikan bank Islam. Yaitu sebuah lembaga
keuangan yang dalam menjalankan operasionalnya menurut atau berdasarkan
syari’at dan hukum Islam. Sudah barang tentu bank Islam tidak memakai system
bunga, sebagaimana yang digunakan bank konvensional. Sebab system atau
cara seperti itu dilarang oleh Islam.
Sebagai
pengganti system bunga tersebut, maka bank Islam menggunakan berbagai macam
cara yang tentunya bersih dan terhindar dari hal-hal yang mengandung unsur
riba. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Wadiah (titipan uang, barang, dan surat berharga
atau deposito). Bisa diterapkan oleh bank Islam dalam operasionalnya menghimpun
dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan
surat-surat berharga sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank
Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar
imbalannya tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu kepada waktu
pemiliknya membutuhkan
2.
Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan
pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss sharing).dengan cara
ini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk
perusahaannya baik besar maupun kecil dengan perjanjian bagi hasil dan rugi
yang perbandingannya sama sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty.
Dalam mudharabah ini, bank tidak mencapuri manajeman perusahaan.
3.
Musyarakah/ syirkah
(persekutuhan). Di bawah kerja sama cara ini, pihak bank dan pihak perngusaha
mempunyai peranan (saham) pada usaha patungan (joint venture.) karena
itu, kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan
menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian tersebut.
4.
Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atau
cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Dengan cara
ini, orang pada hakikatnya ingin merubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam
meminjam menjadi transaksi jual beli (lending activity menjadi sale and
purchase transaction). Dengan system ini, bank bias membelikan/menyediakan
barang-barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta
tambahan harga (cost plus) atas harga pembelinya. Syarat bisnis dengan murabahah
ini ialah si pemilik barang dalam hal ini bank harus memberi informasi yang
sebenarnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit
margin) daripada cost plus-nya itu.
5.
Qargh Hasan (pinjaman yang baik atau bernevolent loan).
Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan)
kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank
Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para
deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.
6.
Bank Islam juga dapat menggunakan modalnya dan
dana yang terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang usaha yang
profitable. Dalam hal ini, bank sendiri yang melakukan manajemennya secara
langsung, berbeda dengan investasi patungan, maka manajemennya dilakukan oleh
bank bersama partner usahanya dengan perjanjian profit and loss sharing.
7.
Bank Islam boleh pula mengelola zakat di
Negara yang pemerintahnya tidak mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga
dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang
produktif, yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
8.
Bank Islam juga boleh memungut dan menerima
pembayaran untuk :
1.
Mengganti biaya-biaya yang langsung
dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepetingan nasabah,
misalnya biaya telegram, telpon, telex dalam memindahkan atau memberitahukan
rekening nasabah dan sebagainya.
2.
Membayar gaji para karyawan bank yang
melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan prasarana
yang disediakan oleh bank, dan biaya administrasi pada umumnya.
E.
Pengertian Riba dan Macamnya
Firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan” (Ali Imran : 130)
Asal
makna riba menurut bahasa Arab (raba-yarbu) atau dalam bahasa Inggrisnya
usury/interest ialah lebih atau bertambah (ziyadah/addition) pada
suatu zat, seperti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Misalnya si A
memberi pinjaman kepada si B, dengan Syarat si B harus mengembalikan uang pokok
pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Riba dapat diartikan juga dengan
segala jual beli yang haram. Adapun yang dimaksud disini menurut istilah syara’
adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau
tidaknya menurut syara’, atau terlambat menerimanya. Secara umum riba
terbagi menjadi dua bagian, yakni riba nasi’ah dan riba al-fadh.
1. Riba
Nasi’ah
Riba nasi’ah
(riba yang jelas, diharamkan karena keadaanya sendiri) diambil dari kata an-nasu’,
yang berarti menunda, jadi riba ini terjadi karena adanya penundaan pembayaran
hutang. Penjelasannya sebagai berikut.
Tambahan
yang disyaratkan, yang diambil oleh orang yang memberi hutang dari orang yang
berhutang. . Misalnya, si A meminjam satu juta rupiah kepada si B dengan janji
waktu setahun pengembalian hutangnya. Setelah jatuh temponya, si A belum bisa
mengembalikan hutangnya kepada si B, maka si A menyanggupi untuk memberi
tambahan dalam pembayaran hutangnya.jika si B mau menambah/menunda jangka
waktunya. atau si B menawarkan kepada si A, “apakah engkau akan membayarnya
atau menundanya kembali dengan menanggung bunga?” Jika si B membayarnya, maka
ia tidak dikenakan tambahan. Sedangkan jika tidak dapat membayarnya, maka ia
menambahkan tangguh pembayaran dengan syarat bahwa ia nantinya harus membayarnya
dengan tambahan. Sehingga, akhirnya harta yang menjadi tanggungan hutang orang
tersebut pun menjadi terlipat ganda. Hal ini merupakan praktek/kebiasaan
Jahiliyah, Oleh karena itu, Allah mengharamkan hal itu, dengan firmannya:
“ Dan
jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan.” (al-Baqarah: 280)
Maka
dari itu jika waktu hutang tersebut sudah jatuh tempo, semantara orang yang
berhutang itu kesulitan membayarnya, maka ia tidak boleh membalikan hutang
tersebut kepadanya, tapi harus siberikan tempo lagi. Sedangkan jika orang yang
berhutang itu berpunya, dan tidak sedang kesulitan, maka ia harus membayar
hutangnya, dan tidak perlu menambah nilai tanggungan hutangnya itu, baik orang
yang berhutang itu sedang mempunyai uang atau sedang sulit.
2. Riba
Fadhl
Riba fadhl
(riba yang samara, diharamkan karena sebab lain) berasal dari kata al-fadhl,
yang berarti tambahan dalam salah satu barang yang dipertukarkan. Riba ini
terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda/barang yang sejenis.
Jadi
syariat telah menetapkan keharamannya dalam enam hal, yakni diantaranya adalah
emas, perak, gandum, kurma, garam. Dan jika salah satu barang-barang ini
diperjual belikan dengan jenis yang sama, maka hal itu diharamkan jika disertai
dengan adanya tambahan antara keduanya. Hal ini senada dengan apa yang
dikatakan oleh Sayid Sabiq bahwa riba fadhl ialah jual beli emas/perak
atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan (yang sejenis) dengan ada
tambahan.
Hal
ini berdasarkan dari hadist Nabi yang disampaikan Abu Said al-Khudri (yang juga
hampir senada dengan hadist yang disampaikan oleh ‘Ubadah bin al-Shamit )3 :
“Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandunm, kurma dengan kurma dan
garam dengan garam harus sama dan tunai. Maka barang siapa yang meminta
tambahan maka sesungguhnya ia memungut riba. Orang yang mengambil dan
memberikan riba itu sama dosanya.” (H.R. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)
Riba
ini diharamkan karena untuk mencegah timbulnya riba nasi’ah, sehingga ia
bersifat prefentif. Sebagian Ulama ada yang membedakan antara riba nasi’ah
dengan riba fadhl seperti membedakan antara berbuat zina dengan
memandang atau memegang wanita yang bukan mahramnya dengan nafsu syahwat.
Memandang atau memegang wanita seperti itu diharamkan karena untuk menghindari
perbuatan zina. .
Sebagian
Ulama ada yang menambahkan selain kedua jenis riba tersebut diatas, yakni riba yad,
yaitu riba yang dilakukan karena berpisah dari tempat akad sebelum serah
terima terjadi. Kemudian Riba qardi yaitu hutang dengan syarat
ada keuntungan bagi yang memberi hutang. Namun secara umum keduanya termasuk
kedalam jenis riba nasi’ah dan riba fadhl.
Pada
dasarnya semua agama samawi di dunia (revealed religion) melarang
praktek riba, karena dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan
bagi mereka yang terlibat riba pada khususnya. Adapun dampak akibat praktek
dari riba itu sendiri diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Menyebabkan eksploatasi (pemerasan) oleh si
kaya terhadap si miskin, sehingga menjadiakan si kaya semakin berjaya dan si
miskin tambah sengsara
2.
Dapat menyebabkan kebangkrutan usaha bila
tidak disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif, karena kebanyakan modal
yang dikuasai oleh the haves (pengelola) justru disalurkan dalam
perkreditan berbunga yang belum produktif.
3.
Menyebabkan kesenjangan ekonomi, yang pada
gilirannya bisa mengakibatkan kekacauan sosial.
F.
Hukum Bermuamalah dengan Bank Konvensional dan Hukum Mendirikan Bank Islam
Pada
masa zaman kehidupan modern seperti saat sekarang ini, umat Islam hampir tidak
dapat menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai
system bunga itu dalam segala aspek kehidupannya, termasuk dalam beragama.
Misalkan ibadah Haji di Indonesia umat Islam harus memakai jasa bank, apalagi
dalam hal kehidupan ekonomi sulit untuk bisa lepas dari jasa bank itu sendiri.
Sebab tanpa jasa bank tersebut, perekonomian Indonesia mungkin tidak akan
selancar dan semaju seperti sekarang. Namun para ulama dan cendikiawan Muslim
sendiri hingga kini masih tetap berbeda pendapat tentang hukum bermuamalah
dengan bank konvensional dan hukum bunga banknya. Perbedaan
pendapat mereka tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Pendapat Abu Zahrah (Guru Besar Fakultas
Hukum, Universitas Cairo), Abul A’la Maududi (Pakistan), Muhammad abdullah
Al-‘Arabi (Penasihat Hukum pada Islamic Congres Cairo), dan lainnya yang
sependapat menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah, yang dilarang oleh
agama Islam. Oleh karena itu umat Islam tidak diperkenankan bermuamalah dengan
bank yang memakai sistem bunga, terkecuali memang benar-benar dalam keadaan
darurat atau terpaksa, dengan syarat mereka itu mengharapkan dan menginginkan
lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.
2.
Pendapat A. Hasan pendiri dan Pemimpin
Pesantren Bangil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di Negara
kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana
yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
3.
Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di
Sidoarjo (Jawa Timur) tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang
diberikan oleh bank-bank Negara kepada para nasabahnya, demikian pula
sebaliknya adalah termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya tidak/belim jelas
halal haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk Hadits, kita harus berhati-hati
menghadapi masalah-masalah yang semisal ini. Karena itu, jika kita dalam keadaan
terpaksa atau kita dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak/penting
barulah kita diperbolehkan bermuamalah dengan bank yang menggunakan sistem
bunga bank itu dengan batasan-batasannya yang telah ditetapkan dalam agama.
Menurut
Mustafa Ahmad al-Zarqa’ (Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas
Syria), bahwa sistem perbankan yang kita terima sekarang ini sebagai realitas
yang tak dapat kita hindari. Karenanya umat islam diperbolehkan (mubah)
bermuamalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan dalam keadaan
darurat dan bersifat sementara. Sebab umat Islam harus berusaha mencari jalan
keluar dengan mendirikan bank tanpa adanya system bunga/riba, demi
menyelamatkan umat Islam dari cengkraman budaya yang tidak Islami.
Dari
sini kemudian kita dapat mengetahui alasan para ulama maupun cendikiawan Muslim
menganjurkan berdirinya bank Islam yakni sebagai berikut :
1.
Agar umat Islam tidak selalu berada dalam
keadaan darurat dan menghindarkannya dari hal-hal yang bersifat subhat/haram
2.
Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktek
bunga, riba, rente dan sebagainya yang mengandung unsur pemaksaan atau
pemerasan (eksploitasi) oleh yang berekonomi kuat terhadap yang berekonomian
lemah, dan juga menghindarkan dari ketimpangan yang menjadikan si kaya makin
kaya dan si miskin menjadi semakin miskin
3.
Guna melepaskan ketergantungan umat Islam
terhadap bank-bank konvensional (non-Islam) yang mengandung unsur
syubhat/haram, dan menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan asing, yang
itu membuat keterpurukan dan melemahnya ekonomi Islam, sehingga umat islam
tidak dapat menerapkan ajaran agamanya secara menyeluruh dalam kehidupan
pribadi maupun bermasyarakat.
4.
Untuk mengaplikasikan ketentuan kaidah fiqh, “al
khuruuju minal khilafi mustahabbun” (menghindari perselisihan ulama itu
sunnah hukumnya), sebab ternyata hingga kini ulama maupun para cendikiawan
Muslim masih saja terjadi perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah,
khusunya dengan bank-bank non Islam (konvensional), karena masalah bunga dan
semacamnya itu masih tetap kontroversial dan tidak jelas hukumnya
(haram/syubhat/halal).
No comments:
Post a Comment