A. Pengertian Hukum Islam (Dalil)
Dalil
menurut bahasa berarti “petunjuk terhadap sesuatu baik hissi(konkrit) maupun
maknawi (abstrak); baik petunjuk itu kepada kebaikan ataupun kepada kejahatan.
Sebagian ahli fiqih dengan pengertian yang lebih sempit, yaitu:”sesuatu yang
daripadanya diperoleh hukum syara’ yang amali atas dasar keyakinan belaka”.
Sedangkan yang didasarkan pada dugaan kuat(zan), mereka namakan “amarah”.
1. Dari segi asalnya:
a. Dalil naqli(nas), dalil yang berasaldari
nas secara langsung yaitu nas ayat al-Qur’an dan al-Hadits.
b. Dalil aqli(ra’yu), ialah pikiran manusia
yang sejahtera, terlepas dari pengaruh nafsu.
2. Dari segi cakupannya:
a. Dalil kully, yakni dalil yang isinya mencakup
banyak satuan hukum, bahkan mencakup sebagian besar hukum yang sejenis.
b. Dalil juz’I (tafsily), yakni dalil yang
hanya menunjuk pada satuan hukum saja.
3. Dari segi kekuatannya
3. Dari segi kekuatannya
a. Dalil qat’I, yakni dalil yang
mendatangkan keyakinan (kepastian):
1) Qat’I wurudnya atau subutnya (cara
datangnya atau penetapannya), ialah dalil yang diyakini(dipastikan) datangnya
dari pembuat syara’, dengan jalan mutawatir. Kategori: al-Qur’an, hadits
mutawatir dan hadits masyhur.
2) Qat’I dalalalahnya (petunjuk kepada
hukum), ialah dalil yang lafadz dan susunan katanya tegas dan jelas menunjukan
arti dan maksud tertentu.
b. Dalil Zanni, yakni dalil yang
mendatangkan dugaan kuat:
1) Zanni wurudnya,ialah dalil yang diduga
keras datangnya dari pembuat syara’, yaitu yang diriwayatkan dengan cara/jalan
ahad. Misal hadits ahad.
2) Zanni dalalahnya, ialah dalil yang
lafadz atau susunan katanya tidak jelas dan tidak pula tegas menunjukkan pada
arti dan maksud yang tertentu.
C. Perincian Dalil-Dalil Syara’
1. Perincian dalil syar’I menurut imam
hanafi:
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
c. Al-ijma
d. Al-qiyas
e. Istihsan
f. ‘urf.
2. Perincian menurut imam syafi’i
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
c. Ijma
d. Qiyas atau istidlal.
3. Perincian menurut imam malik
a. Al-Qur’an
b. Sunnah Rasul yang syah
c. Ijma ahli madinah
d. Qiyas
e. Mashlahah mursalah
4. Perincian menurut Imam Ahmad
a. Nas : 1) al-Qur’an, 2) hadits marfu’
b. Fatwa sahabat
c. Hadist hasan
d. Qiyas (dikala darurat)
Menurut
abdul wahab khallaf, diantara dalil-dalil tersebut yang disepakati oleh jumhur
ulama ialah:
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
c. Al-Ijma’
d. Al-Qiyas
D. Al-Qur’an
1. Pengertian al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu yag
diturunkan oleh Allah SWT kepada Muhammad saw yang berbahasa arab yang sampai
kepada kita dengan riwayat yang mutawatir.
2. Kedudukan al-Qur’an sebagai dalil dan
kehujjahannya.
a. Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber
pertama dari segala dalil.
b. Kehujjahannya yaitu al-Qur’an sebagai
sumber dan dasar hukum islam (dalil) yang paling kuat.
3. Macam-macam hukum yang terkandung di
dalam al-Qur’an
a. Hukum-hukum yang bertalian dengan
I’tiqad
b. Hukum-hukum yang bertalian dengan akhlak
c. Hukum-hukum yang bertalian dengan
‘amaliyah yang meliputi makhluq dan khaliq, dan muamalat.
E. As-Sunnah
1. Pengertian as-Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti jalan
yang ditempuh, perbuatan yang senantiasa dilakukan, adat kebiasaan, sebagai
lawan kata dari bid’ah.
Menurut As-Syatiby sunnah itu
meliputi:
a. Sabda Nabi saw
b. Amal Nabi saw
c. Takrir Nabi saw
d. Amal para sahabat.
2. Pembagian as-Sunnah
a. Ditinjau dari segi sifat pembentukannya:
sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, sunnah taqririyah, sunnah hammiyah, dan
sunnah tarkiyah.
b. Ditinjau dari segi jumlah bilangan
perawinya yaitu: Mutawatir, Masyhur, Ahad.
c. Ditinjau dari segi sandarannya yaitu:
marfu’, mauquf, maqtu’.
d. Ditinjau dari segi nilainya yaitu:
sahih, hasan, dai’f
3. Kedudukan dan Kehujjahan as-Sunnah
Kedudukan as-Sunnah yaitu menjadi yang
kedua setelah al-Qur’an. Sedangkan kehujjahan menjadi tempat mengistinbatkan
hukum syara’.
4. Fungsi as-Sunnah dalam menetapkan hukum.
a. Menguatkan hukum yang telah
disyari’atkan dalam al-Qur’an.
b. Menerangkan apa yang telah disyari’atkan
dalam al-Qur’an.
c. Mensyari’atkan hukum yang didiamkan oleh
al-Qur’an.
5. Perbedaan pendapat dalam menilai
as-Sunnah
Jumhur ulama menerima as-Sunnah
sebagai sumber hukum, ada yang hanya menerima hadits mutawatir saja, ada juga
yang menerima hadits ahad dengan mengemukakan syarat.
F. Al-Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Imam syafi’I mengartikan ijtihad
secara sempit, yaitu hanya terbatas pada “al-Qiyas” saja. Ijtihad yang dimaksud
beliau adalah qiyas.
2. Dalil-dalil sebagai dasar Tasyri’
a. Al-Qur’an, surat an-Nisa(4), ayat 59
b. As-Sunnah
c. Akal.
3. Syarat-syarat melakukan Ijtihad
a. Mengetahui dengan baik bahasa arab dalam
segala seginya
b. Mengetahui dengan baik isi al-Qur’an
c. Mengetahui dengan baik sunnah rasul yang
berhubungan dengan hukum
d. Mengetahui masalah-masalah hukum yang
telah menjadi ijma’ para ulama sebelumnya.
e. Mengetahui ushul fiqih
f. Mengetahui kaidah-kaidah fiqhiyah
g. Mengetahui maksud-maksud syara’
h. Mengetahui rahasia-rahasia syara’
i.
Mujtahid
mempunyai sifat adil, jujur,dan berbudi pekerti terpuji.
j.
Mujtahid
mempunyai niat yang suci dan benar.
4. Tingkatan-tingkatan mujtahid
a. Mujtahid fi asy-Syar’i
b. Mujtahid muntasib
c. Mujtahid fi al-Mazhab
d. Mujtahid murajjih
5. Jalan-jalan atau cara-cara ijtihad
a. Ijma’
b. Qiyas
c. Istihsan
d. Istihlah atau maslahah mursalah
e. ‘urf
f. Istishab
g. Syar’u man qablana
h. Saddu az-Zari’ah
G. Al-ijma
1. Pengertian ijma
Ijma menurut bahasa ialah: sepakat
atas sesuatu. Menurut istilah ahli fiqih adalah kesepakatan seluruh mujtahid
muslim pada suatu masa tertentu setelah rasulullah saw. Wafat atas suatu hukum
syara’ pada peristiwa yang terjadi.
2. Rukun ijma’
a. Adanya pendapat yang menjadi satu pada
satu masa tertentu
b. Adanya kesepakatan pendapat semua
mujtahid dari kaum muslimin atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa
hukum pada waktu terjadi tanpa memandang derajat mereka.
c. Kesepakatan pendapat itu berupa perkataan
dan perbuatan.
d. Kesepakatan pendapat dari seluruh
mujtahid benar-benar terealisir.
3. Kemungkinan terjadinya ijma’
Ijma itu sesungguhnya termasuk
hasil ijtihad para mujtahid bersama-sama dalam satu forum.
4. Macam-macam ijma’
Ditinjau dari segi cara menghasilkan
yaitu al-ijma’ as-sarih dan al-ijma’ as-sukutiy.
Ditinjau dari segi kekuatannya
yaitu: ijma’ qat’I dan ijma’ zany.
5. Kedudukan dan kehujjahan ijma’
Menetapkan Ijma terletak dibawah
deretan al-Qur’an dan as-Sunnah. Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa nilai
kehujjahan ijma itu adalah zany.
H. Al-Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Menurut bahasa: menyamakan sesuatu,
sedangkan menurut pengertian ahli ushul fiqih: menyamakan hukum suatu peristiwa
yang tidak ada nas mengenai hukumnya dengan peristiwa yang telah ada nas hukumnya,
karena ada persamaan illah.
2. Rukun Qiyas dan syarat-syaratnya
a. Al-asl atau maqis ‘alaih disyaratkan:
1) Telah ada hukumnya, baik berdasarkan nas
ataupun berdasarkan ijma’
2) Hukum Asl itu masih tetap berlaku tidak
dimansuh.
b. Al-far’u atau maqis disyaratkan:
1) Belum ada hukumnya, baik berdasarkan nas
ataupun berdasarkan ijma’
2)
Mempunyai persamaan illah dengan al-asl
3)
Datangnya lebih kemudian dari al-asl.
c. Hukum asl disyaratkan:
1) Hukum syara’ amali yang ditetapkan
dengan nas
2) Hukum asl itu harus difahami oleh akal
untuk dicari illahnya
3) Hukum itu tidak hanya terbatas pada asl
saja
d. ‘Illah hukum disyaratkan:
1) Merupakan sifat yang tegas dan tidak
clastis, yakni dapat dipastikan berwujudnya pada far’u, juga tidak mudah
berubah.
2) Merupakan sifat yang nyata adanya dapat
dicapai oleh indra manusia
3) Merupakan sifat yang munasabah
4) Merupakan sifat yang tidak hanya
terbatas pada asl saja, tetapi bisa juga berwujud pada beberapa satuan hukum
yang bukan asl.
3. Pembagian ‘Illah
Dibagi menjadi emapat yaitu:
al-munasib al-muasir, al-munasib al-mula’im, al-munasib al-mulga, al-munasib
al-mursal.
4. Jalan untuk mengetetahui ‘Illah
a. Melalui nas
b. Melalui penetapan ijma’
c. Melalui as-sabr wa at-Taqsim
5. Kehujjahan Qiyas
Kehujjahannya dalam keadaan:
a. Apabila hukum asl dinaskan illahnya.
b. Apabila qiyas itu merupakan salah satu
daripada qiyas-qiyas yang dilakukan Rasul.
I. Al-Istihsan
1. Pengertian istihsan
Menurut bahasa: menganggap sesuatu
itu baik. Menurut istilah alhi ushul fiqih: beralih dari satu hukum mengenai
satu masalah yang telah ditetapkan oleh dalil syara’ kepada hukum lain karena
adanya dalil syara’ yang menghendaki demikian.
2. Macam-macam Istihsan
a. Menurut sandarannya:
1) Ulama hanafi menbagi menjadi:
a) Istihsan sandarannya qiyas khafi
b) Istihsan sandarannya nas
c) Istihsan sandarannya ‘Urf
d) Istihsan sandarannya darurat
2) Ulama maliki membagi menjadi:
a) Istihsan sandarannya ‘urf
b) Istihsan sandarannya maslahat
c) Istihsan sandarannya raf’ul haraj.
b. Menurut pindahan hukumnya:
1) Dari qiyas jaly ke qiyas khafy
2) Dari nas umun ke nas khusus
3) Dari hukum kully ke hukum istisna’
3. Kehujjahan Istihsan
Segolongan ulama berpendapat bahwa
bahwa istihsan bukan dalil yang berdiri sendiri, tetapi memerlukan dan berpokok
pangkal pada dalil syar’i lain.
J. Al-Istihlah atau Maslahah Mursalah
1. Pengertian Istihlah
Menurut
bahasa berarti : “Mencari kemaslahatan” sedangkan menurut Ahli Usul Fiqh adalah
menetapksn hukum suatu masalah yang tak ada nasnya atau tidak ada Ijma
terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemasllahatan semata (yang oleh syara’
tidak dijelaskan ataupun dilarang).
2. Lapangan Istislah dan kehujjahannya
Ulama
Ushul Fiqh menetapkan : Istislah tidak berlaku dalam bidang ibadah, karena
hukum-hukum ibadah adalah ta’budy.
Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa istislah adalah suatu
jalan menetapkan hukum yang tak ada nas dan tak ada pula ijma’ terhadapnya.
At-Tufy menetapkan bahwa istislah adalah dalil syar’i dalam
bidang muamalat. Isrislah bukan saja menjadi dalil bagi yang tak ada nas bahkan
ada juga pada yang ada nasnya sendiri, jika kemaslahatan menghendakinya.
3. Alasan para ulama yang menerima istislah
sebagai dalil syara’
a. Kemaslahatan yang diharapkan manusia itu
tumbuh dan bertambah.
b. Jika diamati para sahabat, tabi’in serta
imam-imam mujtahid telah menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan. Abu Bakar
Siddiq memerintahkan untuk menyusun mushaf yang tadinya belum terkumpul.
4. Alasan ulama menonal Istislah sebagai
dalil Syara’
Ulama yang menolak
Istislah sebagai dalil Syar’i, antara lain Imam Syafi’i, karena disamakan
dengan istihsan. Alasan lain :
a. Petunjuk harus berdasarkan pada nas.
Kalau kemaslahatan tidak berpedoman pada ‘itibar nas, bukanlah kemaslahatan
yang hakiki.
b. Kalau menetapkan hukum berdasarkan pada
kemaslahatan semata yakni yang terlepas dari syara’, sudah pasti akan
dipengaruhi oleh hawa nasfu.
5. Syarat-syarat berhujjah dengan Istislah
a. Kemaslahatan yang dicapai dengan
istislah itu harus emaslahatan yang hakiki.
b. Harus kemaslahatan umum, bukan
kemaslahatan perseorangan atau golongan.
c. Kemaslahatan yang dicapai dengan
Istislah itu tidak bertentangan dengan nas syara’ atau ijma’.
K. ‘Urf
1. Pengertian ‘Urf
Menurut bahasa berarti
mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal,
dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
2. Pembagian ‘Urf
a. Ditinjau dari bentuknya :
1) Al-‘Urf al-Qauliy ialah kebiasaan yang
berupa perkataan, seperti kata “Lahm” (daging) dalam perkataan ini tidak
termasuk daging ikan.
2) Al-‘Urf al-Fi’liy yaitu kebiasaan yang
berupa perbuatan seperti kebiasaan jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan
akad jual beli (ijab-qabul).
b. Ditinjau dari segi nilainya :
1) Al-‘Urf As-Sahih, yaitu ‘Urf yang baik
dan dapat diterima, karena tidak bertentangan dengan nas syara’.
2) Al-‘Urf al-Fasid yaitu ‘Urf yang tak
dapat diterima, karena bertentangan dngan nas syara’.
c. Ditinjau dari segi luas berlakunya :
1) Al-‘Urf al-‘Am yaitu ‘Urf yang berlaku
untuk seluruh tempat sejak dulu hingga sekarang, seperti adanya “salam”.
2) Al’Urf al-Khas yaitu ‘Urf yang hanya
berlaku atau hanya dikenal di suatu tempat saja, ditempat lain tidak berlaku.
Misalnya : penyerahan uang mahar ada yang sebelum dilaksanakn akad nikah (ijab
qabul nikah).
3. Kehujjahan ‘Urf
Ulama
Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan oerbuatan-perbuatan penduduk
Madinah. Berarti ini menganggap apa yang telah berlaku pada masyarakat dapat
diterima, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.
Imam
Syafi’i terkenal dengan Qaul Qadim dan Qaul jadidnya, karena melihat praktek
yang berlaku dalam masyarakat Bagdad dan Mesir berlainan.
L. Al-Istishab
1. Pengertian Istishab
Menurut
bahasa berarti mencari sesuatu yang slalu menyertai. Sedangkan menurut istilah
ushul Fiqh adalah membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang masih diperlakukan
ketentuannya sampai sekarang kecuali jika ada dalil yang merubahnya.
2. Pembagian istishab
a. Atishab Bara’ah Asliyah
b. Istishab yang ditunjukki oleh syara’
atau akal
c. Istishab hukmi
d. Istishab sifati
3. Kehujjahan Istishab
Menurut Malikiyah ,
hanabillah dan Zahiriyah, Istishab itu menjadi hujjah baik dalam
mengistinbatkan (menetapkan) maupun menafikan (meniadakan hukum)
Sebagian ulama berpendapat bahwa istishab itu menjadi hujjah
untuk “Nafyu” (meniadakan hukum) bukan untuk “Isbat” (Menetapkan adanya hukum).
Dikalangan ulama Hanafiyah ada yang mengatakan : bahwa istishab itu dapat di
jadikan hujjah untu menolak, tetapi tidak untuk menuntut hak. Misalnya : Hakim dapat
menolak ahli waris membagi harta orang yang pergi tanpa berketentuan (Mafqud) dan belum di ketahui akan
kematiannya.
M. Syar’u man Qablana
1. Pengertian Syar’u Man Qablana
Secara etimologis
berarti hukum yang di syariatkan oleh Allah SWT bagi orang-orang sebelum kita.
Menurut para ahli Usul ialah : Syari’at yang diturunkan oleh Allah SWT, melalui
nabi-nabi atau rasul-rasul-Nya sebelum nabi Muhammad SAW.
2. Pembagian Syar’u Man Qablana
a. Hukum (Syara’) yang tetap berlaku sampai
sekarang berdasarkan pada nas-nas Al-Qur’an.
b. Hukum (Syara’) yang tetap berlaku bagi
umat dahulu saja, karena sudah di nasakh oleh Al-Qur’an.
c. Hukum (Syara’) yang disebutkan oleh nas
Al-Qur’an mauun As-sunnah, tetapi tidak tegas di sebutkan tetap berlakunya dan
tidak pula di nasakh.
3. Kedudukan Syar’u Man Qablana
Tentang kedudukan
Syar’u Man Qablana, para ulama berbeda pendapat.
a. Sebagian ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan
Syafi’iyah berpendapat bahwa syari’at umat sebelum kita adalah merupakan
syari’at untuk kita, kita wajib mengikuti dan menerapkannya, selama hukum itu
telah diceritakan kepada kita dan dalam syari’at tidak terdapat hukum yang
menasakhkannya.
b. Sebagian ulama berpendapat bahwa
syari’at adalah syari’at yang menasakhkan (menghapus) syari’at-syari’at
terdahulu, kecuali apabila didalam syari’at kita terdapat sesuatu dalil yang
menetapkannya.
Dalam
hubungannya dengan kedudukan Syar’u Man Qablana, Abdul Wahab Khallaf menegaskan
bahwa yang benar adalah pendapat yang pertama. Al-Qur’an adalah kitab suci yang
membenarkan kitab yang datang sebelumnya, maka nas yang tidak menasakh hukum dari salah satu di antara
kitab-kitab itu berarti menetapkan hukum itu.
N. Sadd Az-Zari’ah
1. Pengertian Sadd Az-Zari’ah
Menurut bahasa identik dengan Wasilah (perantara).
Sadd Az-Zari’ah dapat diterjemahkan
“Menghambat atau menyumbat sesuatu yang menjadi perantara”. Menurut ahli Ushul
Fiqh adalah mencegah yang menjadi perantara pada kerusakan, baik untuk menolak
kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat jalan sarana yang dapat
menyampaikan seseorang pada kerusakan.
Dalam larangan ada suatu perbuatan yang dilarang
langsung karena perbuatan itu mendatangkan kerusakan seperti melarang meminum
khamar, berbuat zina adakalanya dilarang sekalipun perbuatan itu tidak langsung
mendatangkan kerusakan, misalnya larangan menyimpan khamr.
2. Dasar penetapan Sadd Az-Zari’ah
Penetapan
dapat di jumpai dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya pada firman Allah surat
Al-An’am (6), ayat 108.melarang kaum muslimin memaki-maki sembahan orang-orang
musrik karena mereka akan memaki-maki Allah dengan melampaui batas.
3. Kualifikasi Zari’ah yang dilarang.
Pada
umumnya ulama menerima ketentuan Sadd Az-Zari’ah hanya saja mereka tidak
sependapat terhadap rincian Zari’ah yang dilarang itu, seperti sebagian ulama
membolehkan “Ba’i’Ainah” sedangkan yang lain melarangnya, karena menimbulkan
riba. Kita harus benar-benar mempertimbangkan antara kerusakan/kemadaratan dan
kemaslahatan yang ditimbulkan oleh sesuatu perbuatan.
No comments:
Post a Comment