16 May 2013

Filosuf Herakleitos by: ricky


A.  BIOGRAFI HERAKLEITOS
   
Herakleitos diketahui berasal dari Efesus di Asia Kecil. Ia hidup di sekitar abad ke-5 SM (540-480 SM). Ia hidup sezaman dengan Pythagoras dan Xenophanes, namun lebih muda usianya dari mereka. Akan tetapi, Herakleitos lebih tua usianya dari Parmenides. Selain bahwa ia berasal dari keluarga terhormat di Efesus, tidak ada informasi lain mengenai riwayat hidupnya, sebab kebanyakan adalah cerita fiksi. Tidak ada sumber yang menyebutkan bahwa ia pernah meninggalkan kota asalnya, yang pada waktu itu merupakan bagian dari kekaisaran Persia. Jika melihat karya-karya yang ditinggalkannya, tampak bahwa watak Herakleitos sombong dan tinggi hati. Selain mencela filsuf-filsuf di atas, ia juga memandang rendah rakyat yang bodoh dan menegaskan bahwa kebanyakan manusia jahat. Selain itu, ia juga mengutuk warga negara Efesus.


Sebagaimana para filsuf lainnya, Herakleitos memusatkan perhatiannya pada pencarian arkhê dari segala sesuatu. Namun, satu hal yang membuat Herakleitos berbeda dari para pendahulunya adalah bahwa arkhê -nya bukanlah sesuatu yang tetap dan statis, melainkan perubahan. Pemikiran Herakleitos sebagaimana kita ketahui dari fragmen-fragmen yang tersedia sekarang ini, tidak hanya membicarakan tentang bagaimana itu alam semesta, melainkan juga tentang bagaimana manusia sebaiknya menempatkan diri dalam alam semesta itu. Meskipun demikian, tidak mudah untuk menyajikan suatu pengertian komprehensif tentang apa dan bagaimana itu pemikiran Herakleitos. Mengenai hal ini, kiranya dapat dicatat dua hal:
·       Pernyataan-pernyataan dalam fragmen-fragmen Herakleitos sulit untuk dimengerti (ambigu, satu pernyataan dapat memunculkan dua atau lebih makna). Fragmen-fragmen tersebut kadang hanya terdiri dari satu atau dua kalimat yang membingungkan sehingga membutuhkan penafsiran yang sangat hati-hati untuk memahaminya.
·       Fragmen-fragmen Herakleitos sedikit banyak bergaya sastra sehingga sulit untuk menemukan terjemahan yang tepat dalam bahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia.
Dari hal-hal tersebut di atas, kiranya yang paling menonjol dalam fragmen-fragmen Herakleitos adalah ambiguitasnya. Ambiguitas fragmen-fragmen Herakleitos ini sering dianalogikan dengan kisah klasik Croesus, raja Lydia, yang bertanya kepada seorang peramal di Delphi tentang apa yang akan terjadi seandainya Croesus memutuskan untuk berperang melawan Persia. Peramal itu menjawab, “Jika kamu melakukannya, sebuah kerajaan besar akan jatuh.” Dengan jawaban itu Croesus yakin bahwa kerajaannyalah yang akan memenangkan perang. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kerajaan besar yang jatuh itu ternyata kerajaannya sendiri. Seperti itulah kiranya ambiguitas fragmen-fragmen Herakleitos: tidak terang-terangan menyatakan ini atau itu, melainkan hanya “memberi tanda”, seperti para peramal di Delphi yang “tidak menyetujui maupun memungkiri, hanya memberikan tanda”. Dengan demikian bolehlah kita mengatakan bahwa fragmen-fragmen Herakleitos “merangsang” siapa saja yang membacanya untuk menggunakan pikiran sendiri, sebuah metode yang sangat penting dalam filsafat.                                                                                         
Mengenai alam semesta ia berpendapat, “ Tiada sesuatu hal pun yang betul-betul ada, semuanya menjadi”. Atas landasan bahwa alam semesta ini memang ‘semuanya menjadi’, maka saya mendukung pendapat herakleitos ini. Artinya bisa dijelaskan bahwa, sebelumnya segala sesuatu itu, telah ada sebagai bahan dasar untuk beranjak ke ‘proses menjadi’ tersebut. Untuk membuat sesuatu hal yang baru, memang harus memerlukan bahan dasar untuk membentuk: ‘Apa yang akan kita pikirkan atau rencanakan’. Bagaikan membuat suatu kursi, kita harus memerlukan kayu atau besi dan juga bahan-bahan lain yang menunjang untuk membuat kursi tersebut. Maka alam semesta ada karena ada sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Dan perkataan ini, sama halnya dengan pandangan Andrew Lang terhadap kepercayaan akan allah. Ia mengatakan bahwa, “ sebelum atau kepercayaan asli ini terbentuk, sudah ada yang tertinggi atau supreme being.” , sama halnya dengan alam semesta ini yang mulai mengalami proses menjadi, maka ada sesuatu yang sudah ada terlebih dahulu.
Pada hal lain dari pengalamannya sebagai filosof, Heraklitus mengambil suatu sudut pandang yang sangat rumit untuk dimengerti para filsuf lainnya. Ia berpendapat bahwa alam semesta adalah sesuatu yang berlawanan satu sama lain. Ia mengatakan bahwa, “ Tiap-tiap benda terdiri dari hal-hal yang saling berlawanan dan hal yang berlawanan itu mempunyai kesatuan. Singkatnya satu adalah banyak dan banyak adalah satu”. Dari pendapat ini, salah satu filosof bernama Anaximandros berpendapat bahwa pertentangan dinilai sebagai suatu ketidakadilan: “ Musim panas mengalahkan musim dingin dan sebaliknya.”. Heraklitus mengambil beberapa contoh dengan sudut pandang yang berbeda, mengenai perlawanan untuk mengadu argumentasi dengan Anaximandros. Dalam perdebatan itu, Heraklitus berpendapat bahwa, “ Musim panas mempunyai arti yang spesifik, karena adanya musim dingin dan juga sebaliknya, siang seakan-akan ‘menjadi’ karena adanya malam. Inti perdebatan ini, memang sulit untuk dijelaskan atau dijalankan, akerna menyangkut suatu sudut pandang yang berbeda-beda. Anaximandros mengenai kejadian alam semesta mengatakan pendapatnya: “ to apeiron-yang tidak terbatas.” (peras: batas). Apeiron itu bersifat ilahi, abadi, tidak berubah (Bertens). Dari pendapat Aniximandros itu, saya menilai bahwa alam semesta itu adalah sesuatu yang paling ilahi, abadi dan merupakan misteri yang mendasar.
          Heraklitus sendiri memiliki pendapat yang ‘sangat lain’. Penglihatannya mengenai hal ini hanya terpaku pada realita yang terjadi di alam semesta ini. Inilah sebabnya, dalam perdebatan anatara Heraklitus dan Aanaximandros, keduanya tidak menemukan titik terang atau titik penyelesaiannya. Mereka memandang dengan sudut pandang yang berbeda. Di lain sisi, Heraklitus melihat suatu keadilan berdasarkan perjuangan, sedangkan Anaximandros memandang keadilan harus berdarakan nilai moral-sosial. Hal tersebut jelas menyimpulkan, bahwa kedua pandangan ini mengalami benturan satu sama lain. Namun dikaitkan dengan dunia masa modern ini, apa yang dikatakan Heraklitus masih sungguh relevan, walaupun di lain sisi juga sanagt bertolak belakang dengan apa yang dikatakannya. Memang, kita melihat dan menafsirkan pendapat Heraklitus ada nilai positifnya, bahwa pada zaman sekarang untuk menentukan yang benar dan salah atau menang dan kalah hanya dapat diperoleh melalui suatu perlawanan. Sebuah contoh dalam Ilmu Politik, untuk mendudukkan satu kursi kekuasaan, seseorang harus melalui perdebatan dan perlawanan yang begitu hebatnya. Misalnya saja perdebatan sengit antara pasangan John McCain dengan Barack Obama dalam kampanye pemilu Presiden yang berakhir dengan kemenangan Obama. Maka dunia zaman ini memerlukan suatu perlawanan, sebab kalau tidak ada perlawanan, maka akan meucul suatu bentuk kekuasaan yang otoriter. Kita harus jeli melihat segi-segi yang tidak menguntungkan, bahwa segala sesuatu yang akan ‘menjadi’ tetapi hanya berdasarkan atas perlawanan akan terjadi, ketidakseimbangan, keserasian, dan kedamaian, pasti tidak akan terjamin. Perlawanan dan pertentangan itu akan selalu muncul. Dari hal itu akan timbul ketidakadilan didalam dunia ini. Sama halnya dengan alam semesta ini, seandainya segalanya berlawanan, maka tidak ada sesuatu yang namanya ‘proses menjadi’. Kita melihat kembali musim panas dan musim dingin sebagai sesuatu yang berlawanan. Menurut ilmu Alam, musim adalah suatu kondisi perputaran dalam lingkaran medio yang memberikan jeda waktu kepada musim lainnya
Jika pada kenyataannya perputaran musim adalah demikian yang digambarkan diatas, maka sangatlaj jelas, bahwa terjadinya musim panas tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan musim sebelumnya. Sehingga benar pendapat Heraklitus. Maka kita bisa menarik kesimpulan dari pendapatnya bahwa “ Segala sesuatu yang ada, hanya proses menjadi dari sesuatu yang sebelumnya memang telah ada.”

B.   PEMIKIRAN HERAKLEITOS
     Berikut ini diuraikan beberapa poin penting pemikiran Herakleitos :
1. Segala Sesuatu Mengalir
Pemikiran Herakleitos yang paling terkenal adalah mengenai perubahan-perubahan di alam semesta. Menurut Herakleitos, tidak ada satu pun hal di alam semesta yang bersifat tetap atau permanen. Tidak ada sesuatu yang betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi. Ia terkenal dengan ucapannya panta rhei kai uden menei yang berarti, "semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap." Perubahan yang tidak ada henti-hentinya itu dibayangkan Herakleitos dengan dua cara:
·           Pertama, seluruh kenyataan adalah seperti aliran sungai yang mengalir. "Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama," demikian kata Herakleitos. Maksudnya di sini, air sungai selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama dengan yang sebelumnya. Fragmen tentang sungai sering digunakan untuk mengungkapkan secara singkat pemikiran Herakleitos. Namun, mengenai sungai inipun ada beberapa fragmen. Pertama, “Pada mereka yang melangkah ke sungai yang sama, sungai berbeda, lalu air yang berbeda mengalir.” Kedua, “Ke dalam sungai yang sama, kita melangkah dan tidak melangkah; kita ‘ada’ dan ‘tidak ada’.” Ketiga, “Adalah mustahil, menurut Herakleitos, untuk melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama.”
                 Menurut James Warren, ada satu pelajaran yang bisa kita dapatkan. Fragmen pertama menunjukkan tekanan pada kesamaan sungai dan perbedaan air yang mengalir. Satu permasalahan muncul: jika air yang mengalir dalam sungai itu terus berubah, mengapa kita tetap menganggapnya sungai yang sama dari waktu ke waktu? Menurut James Warren, pertanyaan ini bisa dijawab dengan jawaban berikut: justru karena air yang terus berubah itulah sungai itu kita sebut sungai. Dengan kata lain, ketetapan (esensi) sungai adalah justru ketidaktetapan airnya. Gagasan inilah yang kemudian dirangkum dalam fragmen yang mengatakan, “Sesuatu itu tinggal tetap dengan berubah” (It rests by changing).
                 Fragmen kedua menyiratkan tekanan nuansa yang lain, yaitu eksistensi orang yang melangkah. Yang berubah bukan hanya sungai atau air sungainya, melainkan juga orang yang melangkah ke dalam sungai itu. Penjelasan mengenai identitas personal ini bisa menjadi sangat rumit. James Warren sendiri berpendapat bahwa penjelasan mengenai hal ini analog dengan penjelasan mengenai sungai sebelumnya. Hanya karena berubahlah manusia itu menjadi manusia. Fragmen ketiga secara cukup jelas menunjukkan bahwa fragmen itu merupakan laporan, dan bukan merupakan tulisan Herakleitos sendiri-meskipun merupakan fragmen yang paling sering dikutip untuk merangkum pemikirannya.
·         Kedua, ia menggambarkan seluruh kenyataan dengan api. Maksud api di sini lain dengan konsep  yang menjadikan air atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi Herakleitos, api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala sesuatu, melainkan melambangkan gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama. Karena itu, api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan. James Warren berpendapat bahwa dalam aspek ini, kosmologi Herakleitos-dalam pengertian tertentu kurang lebih sama dengan kosmologi para filsuf Miletos. Sama dalam hal ini berarti bahwa keduanya menunjuk pada satu hal tertentu sebagai yang mendasari segala sesuatu. Dalam pemikiran Herakleitos, api mendapat tempat yang penting. James Warren menyebutkan empat elemen dasar alam semesta menurut Herakleitos, yaitu tanah, udara, api, dan air. Namun, dari keempat elemen itu, api adalah yang terpenting.
       Uraian James Warren tentang api Herakleitos berangkat dari dua fragmen. Pertama, fragmen yang mengatakan, “Kosmos ini, sama bagi semua, tidak pernah dibuat oleh manusia maupun tuhan, kosmos ini selalu ada, (sekarang) ada dan akan ada seperti api yang selalu hidup, menyala dan meredup sesuai dengan waktunya (ukurannya).” Kedua, fragmen yang mengatakan, “Segala sesuatu dapat dipertukarkan dengan api, dan api adalah alat tukar bagi segala sesuatu, sama halnya semua harta milik bisa dipertukarkan dengan emas, dan emas dengan segala harta milik.”
Dua pengertian ini membawa kita pada suatu pengertian tentang suatu sistem transformasi, di mana setiap elemen yang terkait (tanah, udara, api, dan air) merupakan bagian dari elemen yang lain menurut suatu “hukum” tertentu, dan elemen terpenting adalah api. Namun, meskipun api adalah yang terpenting, menurut James Warren, ini bukan berarti lantas api itu ada dalam segala hal. Tentang hal ini James Warren memberi sebuah analogi. Jika kita membeli roti seharga 70 pence, itu tidak berarti lantas roti itu terdiri atas 70 pence, melainkan pantas dihargai 70 pence. Demikian pula menurut James Warren, Herakleitos berpendapat bahwa jika api itu menjadi air, itu bukan berarti air itu terbuat dari api, melainkan bahwa air itu sama dengan api dalam kuantitas tertentu. Apakah lantas ini berarti bahwa Herakleitos menyatakan bahwa kosmos merupakan suatu sistem transformasi yang konstan? Tentang hal ini kita tidak dapat memastikan karena fragmen-fragmen Herakleitos tentang hal ini banyak ditulis oleh kaum Stoik yang “mengira” bahwa mereka telah mengadopsi begitu saja pemikiran Herakleitos.
Aspek lain yang perlu diuraikan dari api selain aspek transformasi-pertukarannya adalah “kekuatan”-nya. Satu fragmen yang penting mengenai hal ini adalah fragmen yang mengatakan, “Api, sebagaimana ia bekerja, akan memisahkan dan merenggut semuanya.” James Warren berpendapat bahwa kiranya melalui fragmen ini dapat dimunculkan suatu gagasan bahwa Herakleitos bermaksud menampilkan api sebagai suatu kekuatan tertentu yang mengatur kosmos. Menurut James Warren, dalam pengertian inilah kosmologi Herakleitos harus dimengerti sebagai kosmologi yang kurang lebih sama dengan kosmologi Miletos-yaitu bahwa keduanya menunjuk satu elemen tertentu yang memiliki peran-pengaruh tertentu. Perbedaannya adalah bahwa Herakleitos lebih memberi tekanan pada aspek dinamis dari kosmos. Kiranya itulah sebabnya Herakleitos “memilih” api sebagai yang terpenting, yaitu untuk menekankan aspek berubah-ubah dari kosmos.
       Yang Bertentangan itu Satu, Yang Satu itu Bertentangan. Pemikiran Herakleitos juga menggunakan gagasan pertentangan untuk menjelaskan bagaimana “segalanya adalah satu.” Gagasan pertentangan ini menyatakan bahwa yang “satu” itu tidak hanya dapat dijumpai dalam ke-”satu”-annya (misalnya: api), melainkan juga bahkan dalam hal-hal yang bertentangan. Untuk membahas hal ini, baiklah kiranya kita berangkat dari salah satu fragmen, yaitu fragmen yang mengatakan: “Sakit membuat sehat menjadi baik; demikian pula kelaparan dan kepuasan, kelelahan dan istirahat.” Beginilah James Warren menjelaskan fragmen ini: Kita dapat mengetahui baiknya sehat hanya karena ada sakit, baiknya kepuasan hanya karena ada kelaparan, dan seterusnya, demikian pula sebaliknya. Artinya, segala sesuatu yang bertentangan adalah satu. Hanya karena ada sakit, sehat itu bernilai. Tidak mungkin bisa menghargai sehat tanpa ada sakit. Bahkan, secara lebih lanjut kita bisa mengatakan bahwa esensi sehat adalah sakit, karena tanpa sakit, sehat tidak memiliki nilai apapun.
Untuk menambah penjelasan, James Warren kemudian membandingkan pemikiran Herakleitos ini dengan pemikiran Xenophanes tentang anrtropomorfisme tuhan. Xenophanes dengan jelas menolak antropomorfisme tuhan. Baginya, tuhan tidak bisa digambarkan dengan apapun, karena tuhan baginya adalah to apeiron (the unfiniteness). Oleh karena itu, bagi Xenophanes, tuhan yang sama itu tidak bisa digambarkan secara berbeda. Tidak demikian halnya dengan Herakleitos. Bagi Herakleitos, satu hal yang sama bisa digambarkan secara berbeda, bahkan bertentangan, dan bahkan justru pertentangan itulah esensi sesuatu itu.
2. Logos
       Segala sesuatu yang terus berubah di alam semesta dapat berjalan dengan teratur karena adanya logos. Pandangan tentang logos di sini tidak boleh disamakan begitu saja dengan konsep logos pada mazhab Stoa. Logos adalah rasio yang menjadi hukum yang menguasai segala-galanya dan menggerakkan segala sesuatu, termasuk manusia. Logos juga dipahami sebagai sesuatu yang material, namun sekaligus melampaui materi yang biasa. Hal ini disebabkan pada masa itu, belum ada filsuf yang mampu memisahkan antara yang rohani dan yang materi.
       Sebelumnya harus dipahami terlebih dahulu bahwa logos dalam bahasa Yunani pada dirinya sendiri mempunyai makna yang sangat luas. Keluasan makna logos tersebut tidak akan dibahas dalam makalah ini. Satu hal yang perlu dikemukakan adalah bahwa dari sekian banyak makna yang terkandung dalam kata logos, James Warren berpendapat bahwa dalam konteks suatu “kata pembuka”, bolehlah logos ini kita terjemahkan menjadi “pengetahuan”. Sampai sekarang, bagaimana sebenarnya urutan fragmen-fragmen Herakleitos memang masih menjadi bahan diskusi para ahli. Meskipun demikian, kita boleh cukup yakin tentang fragmen pembukanya. Besar kemungkinan buku Herakleitos dibuka dengan fragmen berikut :
“Logos selalu tidak berhasil dipahami oleh manusia, baik sebelum mereka mendengarnya maupun ketika untuk pertama kalinya mereka mendengarnya. Karena, meskipun segala sesuatu menjadi sedemikian menurut logos, manusia seolah-olah tidak sadar ketika mereka mencoba memahami kata-kata maupun tindakan yang kukemukakan dengan memisahkan segalah hal menurut kodrat alaminya dan menunjukkan sebagaimana adanya. Beberapa orang yang lain tidak sadar akan apa yang mereka lakukan ketika sadar, sebagaimana mereka juga tidak sadar akan apa yang mereka lakukan ketika tidur”. Lalu apakah yang dimaksud Herakleitos dengan kalimat pertama dalam fragmen. Ada dua kemungkinan: pertama, logos itu sendirilah yang selalu menjadi bahan pembicaraan. Kedua, manusialah yang selalu gagal untuk memahami logos itu. Singkat kata, apakah yang “selalu”: logos-nya atau manusianya? Dalam hal ini, James Warren berpendapat bahwa fragmen pembuka ini berusaha menekankan bahwa logos-lah yang selalu menjadi permasalahan, bahan perbincangan. Apa yang dikatakan atau ditulis oleh Herakleitos tidak terlalu menjadi masalah. Logos-lah yang harus selalu diberi perhatian.
Dalam terang pengertian inilah kita bisa mengerti apa yang dimaksud “tidak berhasil dipahami oleh manusia” itu. Yang tidak berhasil dipahami bukan hanya logos yang dikatakan atau ditulis oleh Herakleitos, melainkan juga logos itu pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, meskipun kita sudah memahami apa yang dikatakan oleh Herakleitos (yang sulit untuk dipahami), sebenarnya kita belumlah memahaminya karena yang ingin dituju lebih dari sekadar apa yang dikatakan. Itulah sebabnya mengapa dikatakan “…baik sebelum mereka mendengarnya maupun ketika untuk pertama kalinya mereka mendengarnya…”. Fragmen yang lain lagi mengatakan “Jangan dengarkan aku, melainkan dengarkanlah logos. Adalah bijaksana untuk menyetujui bahwa segalanya adalah satu” . Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati untuk mengatakan bahwa kita telah mengerti apa yang dimaksud oleh Herakleitos.
Hal berikutnya yang perlu menjadi catatan tentang logos berangkat dari kalimat dalam fragmen, khususnya bagian yang mengatakan “Karena, meskipun segala sesuatu menjadi sedemikian menurut logos,…“. Penggalan fragmen ini kiranya memberi sedikit gambaran tentang logos yang dimaksud oleh Herakleitos. Berangkat dari penggalan fragmen ini, James Warren berpendapat bahwa jika “segala sesuatu menjadi sedemikian menurut logos”, dapatlah dikatakan bahwa logos yang dimaksud adalah semacam hukum alam-hukum yang menjelaskan bagaimana sesuatu itu menjadi sedemikian adanya. Sebagai penjelasan, James Warren mengumpamakan logos itu dengan hukum gas ideal dalam reaksi kimia. Hukum gas ideal sendiri merupakan suatu hukum yang menjelaskan reaksi-reaksi gas dalam kondisi STP (standard temperature and pressure). “Rumus” hukum gas ideal itu sendiri hampir pasti “meleset”. Artinya, kenyataan hampir pasti tidak sesuai dengan hitungan matematis karena meskipun reaksi sudah dilakukan dalam STP, selalu ada saja faktor X (gesekan antarmolekul, gaya kohesi-adhesi, dsb.) yang menyebabkan hitungan tidak sesuai dengan kenyataan. Kebenaran hitungan rumus hukum gas ideal harus selalu mengandaikan bahwa gas-gas yang bereaksi sungguh ideal, sementara dalam kenyataan tidak ada gas yang sungguh ideal. Namun, betapapun hukum itu hampir pasti selalu “meleset”, hukum itu cukup memberi penjelasan tentang bagaimana proses reaksi gas itu terjadi.Begitulah James Warren berusaha menjelaskan logos yang dimaksud oleh Herakleitos. Logos itu mengatur, namun tidak mendikte.
Selanjutnya kita akan membahas klausa kedua kalimat kedua dan kalimat terakhir fragmen. Secara umum, dua hal tersebut berbicara tentang “kesadaran”, khususnya pernyataan bahwa menurut Herakleitos, kebanyakan orang itu “tidak sadar” (tertidur). Untuk menjelaskan hal ini, kita bisa merujuk pada sebuah fragmen yang lain, yaitu fragmen yang mengatakan, “Meskipun logos itu ‘umum’ (xunos), banyak orang hidup seolah-olah hanya dalam pikiran mereka sendiri.” Inilah kiranya yang dimaksud Herakleitos dengan “ketidaksadaran” itu. Selanjutnya James Warren menyatakan bahwa dengan demikian Herakleitos mengajak para pembacanya untuk “sadar”, “bangun dari tidur”. “Sadar” dalam hal ini menurut James Warren harus dimengerti dalam dua kerangka ini: pertama, menolak kecenderungan untuk hanya memikirkan diri sendiri dan bukan dunia sebagai keseluruhan. Kedua, kecenderungan untuk memandang dunia hanya dengan suatu sudut pandang tertentu saja.
3. Para Dewa dan Manusia, Kehidupan dan Kematian
Kita bisa memulai pembahasan tentang hal ini dengan fragmen, “Yang abadi itu fana, yang fana itu abadi, menghidupi kematiannya, ‘mematikan’ kehidupannya.” Menurut James Warren, fragmen ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari gagasan “kemenjadian” Herakleitos. James Warren menjelaskan bahwa adalah kodrat kita sebagai manusia untuk berubah: lahir dan mati. Itulah yang membedakan manusia dari para dewa. Namun, satu permasalahan muncul di sini. Bagaimana bisa yang abadi (para dewa) itu fana? Tentang hal ini James Warren mempunyai dua pendapat. Pertama, “yang abadi” itu merupakan orang-orang atau elemen-elemen yang “hidup” pada masa tertentu, dan karenanya disebut fana. Kedua, “yang abadi” itu juga bisa dimengerti sebagai para dewa yang “secara bebas” memilih menjadi salah satu dari yang fana, dan karenanya menjadi fana.
James Warren juga menjelaskan bahwa Herakleitos memuji, mengidealkan cara hidup tertentu dan cara kematian tertentu. Kematian yang ia puji adalah kematian dalam peperangan. Secara singkat, James Warren juga menjelaskan gagasan Herakleitos mengenai keadilan (berbeda dengan Anaximandros, menurut James Warren, keadilan Herakleitos lebih bernuansa hukum dan etis).
Fragmen lain juga berbicara tentang kematian, “Manusia tidak bisa mengetahui atau membayangkan apa yang menunggu mereka ketika mereka mati.” Namun, Herakleitos sendiri tidak memberi penjelasan lebih lanjut tentang hal ini. Menurut James Warren, alasannya sederhana saja, yaitu karena Herakleitos sendiri masih hidup ketika menuliskan hal ini, sehingga dia sendiri tidak tahu apa yang akan dijumpainya ketika mati.
4. Segala Sesuatu Berlawanan
Menurut Herakleitos, tiap benda terdiri dari yang berlawanan. Meskipun demikian, di dalam perlawanan tetap terdapat kesatuan. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa yang satu adalah banyak dan yang banyak adalah satu.Anaximenes juga memiliki pandangan seperti ini, namun perbedaan dengan Herakleitos adalah Anaximenes mengatakan pertentangan tersebut sebagai ketidak adilan, sedangkan Herakleitos menyatakan bahwa pertentangan yang ada adalah prinsip keadilan. Kita tidak akan bisa mengenal apa itu siang tanpa kita mengetahui apa itu malam. Kita tidak akan mengetahui apa itu kehidupan tanpa adanya realitas kematian. Kesehatan juga dihargai karena ada penyakit. Demikianlah dari hubungan pertentangan seperti ini, segala sesuatu terjadi dan tersusun. Herakleitos menegaskan prinsip ini di dalam kalimat yang terkenal: "Perang adalah bapak segala sesuatu." Perang yang dimaksud di sini adalah pertentangan. Melalui ajaran tentang hal-hal yang bertentangan tetapi disatukan oleh logos, Herakleitos disebut sebagai filsuf dialektis yang pertama di dalam sejarah filsafat.

C.  ANALISIS
     Mengenai api Herakleitos berpendapat bahwa api adalah asal dari segala sesuatu, karena menurutnya api itu membakar semuanya, menjadikan semuannya itu jadi api dan akhirnya menukarnya lagi jadi abu. Semuannya bertukar menjadi api dan api bertukar menjadi abu. Bisa kita lihat dari matahari sebagai syarat hidup bagi manusia. Ini sangat bertentangan dengan pendapat Thales. Dengan berdasakan pengalamnnya sehari-hari, sebagai orang pesisir betapa air laut menjadi sumber hidup, begitu juga dengan mesir betapa rakyat disana sangat tergantung hidupnya dengan air, dengan air maka kan menyuburkan tanah sepanjang aliran. Sehinga dia menyimpulkan bahwa asal segala sesuatu itu adalah air,  Berbeda lagi dengan Anaximandros bahwa asal segala Sesutu itu adalah udara. Karena udaralah yang membalut dunia ini, dan menjadi sebab segala yang hidup. Dari pendapat ini penulis semakin yakin bahwa asal segala sesuat adalah semua, baik api, udara, air, maupun tanah itu sendiri adalah saling berkaitan satu sama lain. Tanpa ada kesemunya tidak akan mungkin akan terjadi keberlangsungan hidup.
Dari berbagai pemikiran-pemikiran Herakleitos yang telah diuraikan di atas, jelas kita bisa menyimpulkan bahwa Herakleitos sendiri berpaham relativisme kita bisa lihat dari pandangannya mengenai alam semesta. Coba kita cermati dari perkataannya “engkau tidak dapat terjun ke sungai yang sama dua kali karena sungai itu selalu mengalir (warner,1961:26)’. Menurutnya alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah-ubah; sesuatu yang panas berubah menjadi dingin, sesutau yang dingin bisa berubah menjadi panas. Berarti kalu kita berbicara masalah kosmos maka Herakleitos sendiri akan mengatakan bahwa kosmos itu dinamis, kosmos tidak pernah pernah berhenti (diam), ia selalu bergerak, dan bergerak itu selalu berubah. Pernyataan tentang semua itu berubah-ubah bukanlah masalah sederhan, apabila kita kaitan dengan filsof Phytagoras mengenai hitungan, berarti semua semuanya selalu berubah-ubah, hari ini 2 X 2 = 4 besok dapat bukan empat jawabannya. Melihat pemikira Herakleitos pandangan ini bertentang dengan filsof yang satu masa dengannya yaitu phytagoras dimana pemikirannya bahwa semua alam ini memiliki banyak kekurangn hanya tuhanlah yang memiliki kesempurnaan, namun di sinilah masalaanya. Dari pendapat ini penulis tidak bisa menyalahkan pendapat mereka tentang ini, karena kebenaran adalah miliki bersama, namun penulis sendiri berpendapat bahwa tidak ada pendapan yang benar dan tidak ada pula pendapat yang salah, melainkan tuhanlah yang maha tau tentang alam semesta ini dan Tuhanlah yang mengetahui segala apa yang ada di alam semesta ini, karena saya yakin siapa yang membuat sesuatu pastilah ia tau tentang semua aspek didalamnya. Tuhan seperti perakit sebuah mobil, walaupun mobil tersebut dipisah-pisah dan dihancurkan maka niscaya ia sanggunp memperbaikinya seperti semula, karena ia tau apa yang ada dalam sebuah mobil tersebut.

No comments:

Post a Comment