18 May 2013

Masih Pantas-kah UN dipertahankan? by: Edi

Dewasa ini, hampir seluruh media elektronik sedang gencar-gencarnya memberitakan tentang carut-marut Ujian Nasional tahun 2013. Padahal baru selang beberapa hari, sudah ada beberapa temuan kecacatan dalam ujian nasional yang dilaksanakan secara serempak diseluruh provinsi negara Indonesia. Entah apa gerangan yang melatarbelakangi carut marut UN tahun ini. Mungkinkah ada beberapa kelompok yang merekonstruksi kecacatan ini atau ada unsur politik dibalik kecacacatan yang selalu digembor-gemborkan oleh media elektronik. Hal tersebutlah yang membuat penulis resah, selaku calon praktisi pendidikan yang akan berkecimpung langsung dalam dunia pendidikan yang sudah tidak jelas arah tujuan dari pendidikan itu sendiri, sudah saatnya penulis memberikan beberapa kritik dan masukan kepada institusi yang melatarbelakangi elaksanaan Ujian Nasional dan seluruh pihak yang ikut andil dalam pelaksanaanya dari masa ke masa guna keefektivan dan relevansi penyelenggaraan UN di masa mendatang serta perbaikan kualitas pendidikan di tanah surga ini (katanya).
  
            Adapun beberapa temuan kecacatan yang ditemukan oleh insan media dalam penyelenggaraan ujian nasional tahun ini adalah sebagai berikut :
  • Penundaan pelaksanaan UN di 11 provinsi, hal tersebut disebabkan karena lambatnya distribusi soal dari percetakan yang direkomendasikan oleh MENDIKBUD.
  • Masih adanya tradisi contek-menyontek antar siswa ketika pelaksanaan ujian nasional berlangsung  dan terekam jelas oleh insan media.
  • Kualitas kertas lembar jawaban kurang baik dan hal tersebut menimbulkan rasa kekhawatiran dalam diri siswa, jawaban yang ditulisnya tidak dapat diidentifikasi oleh alat pemeriksa jawaban UN.

Dan masih banyak lagi seabreg kecacatan yang mengindikasikan bahwa penyelnggaraan UN tahun ini gagal. Hal senada pun diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh bahwa penyelenggaran UN tahun ini memang sangat berat dari tahun-tahun sebelumnya, selain ia harus turun langsung mengontrol pelaksanaan UN dia juga harus memverifikasi tentang keterlambatan penyetakan soal yang berdampak kepada penundaan pelaksanaan UN di beberapa provinsi.

Oleh sebab itu sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang secara kritis dan obyektif, apakah masih perlu UN dipertahanakan dan tetap dilaksanakan dalam konteks keindonesian sekarang ini. Karena banyak hal yang direspon tidak baik oleh kebijakan UN, diantaranya sebagai berikut kebijakan UN bertentangan kebijakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) indikasinya KTSP berupaya untuk memenuhi kebutuhan siswa kontekstual dengan memberikan materi pelajaran yang khas lokal seperti bahasa daerah, tari-tarian atau kesenian local. Kemudian hal yang lebih ditekankan dalam KTSP adalah memberikan kewenangan kepada guru di sekolah-sekolah untuk berkreasi menyusun kurikulum sesuai dengan kondisi sosial, kultural, ekonomi, lingkungan disekelilingnya. Hal tersebut tentu berbeda 180 derajat dengan kebijakan UN yang mengambil fokus sentralisasi dan standar tunggal dalam ujian. Bagaimana bisa kualitas pendidikan yang orientasi pembelajarannya plural dapat diukur dan diuji dengan standar tunggal?. Jadi antara kebijakan pemerintah yang mengatakan bahwa penyusunan kurikulum yang diberikan otoritas penuh kepada setiap sekolah bertentangan langsung dengan adanya kebijakan UN yang selalu dipertahankan oleh pemerintah dari tahun ke tahun.[1]       

Selanjutnya tidak dapat dipungkiri, memang besar sekali alokasi dana untuk penyelanggaraan UN dari tahun ke tahun. Indikasinya untuk tahun 2011 saja jumlah dana UN sebesar 580.000.000.000 dengan jumlah peserta UN 10.409.562 siswa (suara pembaruan 8/1/10). Hal tersebut sungguh sangat mencengangkan, padahal pada realitanya arah tujuan penyelenggaraan UN  itu sendiri hingga saat ini belum jelas tujuanya. Apakah untuk mengukur kualitas pendidikan atau pemborosan uang Negara saja?. Alangkah lebih baiknya apabila para birokrasi mengalokasikan dana yang sangat besar itu untuk pembangunan beberapa infrastruktur dan meningkatkan sarana serta prasarana di masing-masing sekolah khusunya bagi sekolah-sekolah yang berdomisili di daerah pinggiran sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancer dan lebih efektif.

Jadi, melihat dinamika yang terjadi sekitar pelaksanaan UN dari tahun ke tahun, penulis menekankan kepada para aparatur Negara khususnya pihak penyelanggara UN untuk mengkaji ulang dan meng-evaluasi secara kritis kerelevansian pelaksanaan UN dalam dunia pendidikan dalam konteks keindonesian sekarang ini. Kemudian indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan siswa tidak bisa hanya dengan beberapa mata pelajaran, melainkan seluruh proses pendidikan mulai dari awal proses pembelajaran berlangsung hingga akhir. Penilaian hendaknya tidak hanya diberlakukan pada pelajaran yang bersifat exacta saja, tetapi menilai aspek afektif siswa juga seperti sikap, perilaku, budi pekerti, keuletan,kepemimpinan dan lain sebagainya. Menilai secara keseluruhan aspek yang terkandung dalam diri siswa justru lebih hemat tanpa harus menghamburkan banyak biaya sebagaimana penyelangaraan UN, karena penilaian dilakukan sejak dini dan hanya cukup bermodalkan penilaian keseharian secara menyeluruh dan berkelanjutan. Harapanya dengan adanya tulisan sederhana ini kualitas pendidikan di tanah air tercinta akan semakin meningkat guna mempersiapkan generasi bangsa yang kompeten dan berperangai baik.    
Penulis : Moh Edi Komara,
   



[1] Darmaningtyas, Manipulasi kebijakan pendidikan (resist book) hal 181.  

1 comment: