Dewasa
ini, hampir seluruh media elektronik sedang gencar-gencarnya memberitakan
tentang carut-marut Ujian Nasional tahun 2013. Padahal baru selang beberapa
hari, sudah ada beberapa temuan kecacatan dalam ujian nasional yang
dilaksanakan secara serempak diseluruh provinsi negara Indonesia. Entah apa
gerangan yang melatarbelakangi carut marut UN tahun ini. Mungkinkah ada
beberapa kelompok yang merekonstruksi kecacatan ini atau ada unsur politik
dibalik kecacacatan yang selalu digembor-gemborkan oleh media elektronik. Hal
tersebutlah yang membuat penulis resah, selaku calon praktisi pendidikan yang
akan berkecimpung langsung dalam dunia pendidikan yang sudah tidak jelas arah
tujuan dari pendidikan itu sendiri, sudah saatnya penulis memberikan beberapa kritik dan masukan kepada institusi yang melatarbelakangi elaksanaan Ujian
Nasional dan seluruh pihak yang ikut andil dalam pelaksanaanya dari masa ke
masa guna keefektivan dan relevansi penyelenggaraan UN di masa mendatang serta
perbaikan kualitas pendidikan di tanah surga ini (katanya).
Adapun
beberapa temuan kecacatan yang ditemukan oleh insan media dalam penyelenggaraan
ujian nasional tahun ini adalah sebagai berikut :
- Penundaan pelaksanaan UN di 11 provinsi, hal tersebut disebabkan karena lambatnya distribusi soal dari percetakan yang direkomendasikan oleh MENDIKBUD.
- Masih adanya tradisi contek-menyontek antar siswa ketika pelaksanaan ujian nasional berlangsung dan terekam jelas oleh insan media.
- Kualitas kertas lembar jawaban kurang baik dan hal tersebut menimbulkan rasa kekhawatiran dalam diri siswa, jawaban yang ditulisnya tidak dapat diidentifikasi oleh alat pemeriksa jawaban UN.
Dan masih banyak lagi seabreg
kecacatan yang mengindikasikan bahwa penyelnggaraan UN tahun ini gagal. Hal
senada pun diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh bahwa
penyelenggaran UN tahun ini memang sangat berat dari tahun-tahun sebelumnya, selain
ia harus turun langsung mengontrol pelaksanaan UN dia juga harus memverifikasi
tentang keterlambatan penyetakan soal yang berdampak kepada penundaan
pelaksanaan UN di beberapa provinsi.
Oleh sebab itu sudah
saatnya pemerintah mengkaji ulang secara kritis dan obyektif, apakah masih
perlu UN dipertahanakan dan tetap dilaksanakan dalam konteks keindonesian
sekarang ini. Karena banyak hal yang direspon tidak baik oleh kebijakan UN,
diantaranya sebagai berikut kebijakan UN bertentangan kebijakan KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan) indikasinya KTSP berupaya untuk memenuhi kebutuhan
siswa kontekstual dengan memberikan materi pelajaran yang khas lokal seperti
bahasa daerah, tari-tarian atau kesenian local. Kemudian hal yang lebih
ditekankan dalam KTSP adalah memberikan kewenangan kepada guru di
sekolah-sekolah untuk berkreasi menyusun kurikulum sesuai dengan kondisi
sosial, kultural, ekonomi, lingkungan disekelilingnya. Hal tersebut tentu
berbeda 180 derajat dengan kebijakan UN yang mengambil fokus sentralisasi dan
standar tunggal dalam ujian. Bagaimana bisa kualitas pendidikan yang orientasi
pembelajarannya plural dapat diukur dan diuji dengan standar tunggal?. Jadi
antara kebijakan pemerintah yang mengatakan bahwa penyusunan kurikulum yang
diberikan otoritas penuh kepada setiap sekolah bertentangan langsung dengan
adanya kebijakan UN yang selalu dipertahankan oleh pemerintah dari tahun ke
tahun.[1]
Selanjutnya tidak dapat
dipungkiri, memang besar sekali alokasi dana untuk penyelanggaraan UN dari
tahun ke tahun. Indikasinya untuk tahun 2011 saja jumlah dana UN sebesar
580.000.000.000 dengan jumlah peserta UN 10.409.562 siswa (suara pembaruan
8/1/10). Hal tersebut sungguh sangat mencengangkan, padahal pada realitanya
arah tujuan penyelenggaraan UN itu
sendiri hingga saat ini belum jelas tujuanya. Apakah untuk mengukur kualitas
pendidikan atau pemborosan uang Negara saja?. Alangkah lebih baiknya apabila
para birokrasi mengalokasikan dana yang sangat besar itu untuk pembangunan
beberapa infrastruktur dan meningkatkan sarana serta prasarana di masing-masing
sekolah khusunya bagi sekolah-sekolah yang berdomisili di daerah pinggiran
sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancer dan lebih
efektif.
Jadi, melihat dinamika
yang terjadi sekitar pelaksanaan UN dari tahun ke tahun, penulis menekankan
kepada para aparatur Negara khususnya pihak penyelanggara UN untuk mengkaji
ulang dan meng-evaluasi secara kritis kerelevansian pelaksanaan UN dalam dunia pendidikan
dalam konteks keindonesian sekarang ini. Kemudian indikator yang digunakan
untuk mengukur kualitas pendidikan siswa tidak bisa hanya dengan beberapa mata
pelajaran, melainkan seluruh proses pendidikan mulai dari awal proses
pembelajaran berlangsung hingga akhir. Penilaian hendaknya tidak hanya
diberlakukan pada pelajaran yang bersifat exacta saja, tetapi menilai aspek
afektif siswa juga seperti sikap, perilaku, budi pekerti, keuletan,kepemimpinan
dan lain sebagainya. Menilai secara keseluruhan aspek yang terkandung dalam
diri siswa justru lebih hemat tanpa harus menghamburkan banyak biaya
sebagaimana penyelangaraan UN, karena penilaian dilakukan sejak dini dan hanya
cukup bermodalkan penilaian keseharian secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Harapanya dengan adanya tulisan sederhana ini kualitas pendidikan di tanah air
tercinta akan semakin meningkat guna mempersiapkan generasi bangsa yang
kompeten dan berperangai baik.
Penulis : Moh Edi Komara,
Amazing artikelnya,,.. lanjutkan karya2 cantikmu lagi
ReplyDelete