PENDAHULUAN
Agama Islam merupakan agama yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW. Ajaran agama Islam bersumber pada Al Quran dan Al Hadits.
Keotentikan Al Quran tidak terbantahkan lagi, tetapi berbeda dengan Al Hadits.
Banyak ditemukan Hadits palsu di sekitar
kita. Tentunya kita membutuhkan suatu ilmu untuk mengungkap permasalahan ini.
Ilmu Hadits merupakan ilmu yang tepat untuk mengungkap
permasalahan ini. Dengan berbagai pembahasan dalam ilmu ini, kita bisa
mengungkap pengertian Hadits, cara penyampaian dan penerimaannya, cara
mengetahui kapasitas para rawiyang meriwayatkan Hadits dan berbagai
pembahasan lain dalam ilmu ini.
Makalah ini akan membahas permasalahan yang berkaitan
dengan Al Hadits seperti pengetian ‘Ulum Al Hadits, cara penerimaan hadist, serta Ilmu Jarah dan Ta’dil.
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Ulum Al Hadits
Istilah ‘Ulum
Al Hadits
berasal dari dua kata, yaitu
‘ulum
dan hadits.‘Ulum
merupakan bentuk jama’ dari kata ‘ilmyang
berarti ilmu pengetahuan. Sedangkan haditsadalahsesuatu yang baru atau lawan dari qadim dan bisa juga berarti kabar
atau berita dari seseorang.Ulama Hadits
mendefinisikan Hadits
sebagai sesuatu yang bersumber dariNabi
Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat diri atau sifat
pribadi.
Menurut Hafidz
Hasan Al Mas’udi, Hadits secara istilah adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,
baik perkataan, perbuatan, ketetapan
atau sifat Nabi (Minhah Al
Muhgits:5).
Dengan demikian, istilah ‘Ulumu Al Haditsadalah ilmupengetahuan yang mempelajari masalah hadits
dengan berbagai aspeknya. Pengertian ini didasarkan atas banyaknya macam
keilmuan yang membahas permasalahan Hadits.
B.
Cara Menerima Hadits
Hadits bisa sampai ke kita merupakan perandari para ulama’ yang
sudah menyampaikan dan menerima Hadist dari ulama’ yang lain.
Sekurang-kurangnya ada delapan cara penerimaan Hadits.
Pertama, As Simaa’i. Yaitu seorang ulama’membacakan sebuah hadist
baik dari hafalan ataupun dari kitab, dan yang hadir dalam majelis itu mendengarkannya untuk ditulis atau untuk
keperluan yang lain. Menurut
mayoritas ulama, metode ini berada pada peringkat tertinggi.Hal ini disebabkan karena ketika ulama’ membacakan Hadist, yang hadirmenulisnya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan
lebih dekat pada kebenaran.
Kedua, Al Qira’ah ‘ala Asy Syaikh. Yaitu, suatu cara
penerimaan Hadist dengan cara seseorang membacakan Hadist dihadapan ulama’,
baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang ulama’ mendengarkan dan
menyimaknya. Tidak diragukan
lagi bahwa metode seperti ini adalah sah, sebab ulama’
bisa langsung mengoreksi jika bacaan seseorangsalah .
Ketiga, Al Ijazah. Yaitu
pemberian izin kepada seseorang kepada orang lain, untuk meriwayatkan hadist
daripadanya, kitab-kitabnya. Metode ini diperselisihkan oleh para ulama’ terkait dengan keabsaan metode ini.
Keempat, Al Munawalah. Maksudnya,
seorang ulama’ memberikan sebuah Hadist,
beberapa Hadist atau sebuah kitab kepada muridnya. Kemudian ulama’ itu berkata,“Inilah hadist-hadist yang sudah saya dengar dari seseorang, maka
riwayatkanlah hadist itu dariku”. Metode ini terbagi menjadi dua, yaitu yang pertama disertai denganijazah.
Misalnya, setelah ulama’ menyerahkan kitab asli atau salinannya, lalu ulama’
itu mengatakan :
"Riwayatkanlah dari saya ini". Periwayatan ini
diperkenankan dan bahkan ada yang berpendapat kebolehannya itu secara ijma',
karena tidak ragu lagi kewajiban untuk mengamalkannya. Kedua tanpa disertai ijazah. Yakni
ketika naskah asli atau turunnya diberikan kepada muridnya dengan dikatankan
bahwa itu adalah apa yang didengar si fulan, tanpa diikuti dengan suatu
perintah untuk mengamalkannya.
Kelima, Al Mukatabah. Yaitu ulama’ menulis dengan tangannya sendiri
atau meminta orang lain untuk menulis dirinya sebagai hadistnya untuk seorang
murid yang ada dihadapannya atau murid yang tidak datang kemudian mengirimkannya
kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. Metode ini dibagi menjadi
dua. Pertama, disertai ijazah.. Misalnya ulama’ menulis beberapa
hadist untuk murid dan memberikan ijazahkepadanya. Jenis ini setara
dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam kebenaran dan
kekuatan.Kedua, tanpa disertai ijazah. Ada sekelompok
ulama yang melarang meriwayatkan hadist darinya. Namun pendapat yang shahih
memperbolehkan, sebab pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama mutaqaddimin
dan muta'akhirin
Keeman, I'lam Asy Syaikh. Yakni pemberitahuanulama’ kepada muridnya,
bahwa kitab atau Hadist yang diriwayatkannya
diterima dari ulama’, dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk
meriwayatkannya. Hadist dengan
cara ini tidak sah, karena adanya kemungkinan bahwa ulama’ mengetahui bahwa dalam hadist tersebut ada cacatnya
Ketujuh, Al Washiyah. Yakni
ulama
ketika akan meninggal atau bepergian, meninggalkan
pesan atau orang lain untuk meriwayatkan hadist atau kitabnya, setelah ulama’ meninggal atau bepergian. Menurut jumhur cara ini lemah, sementara
Ibnu Sirin memeperbolehkan mengamalkan hadist yang diriwayatkan.
Kedelapan, Al Wijadah. Yaitu memperoleh tulisan hadist dari orang lain yang
tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadz sima', qira'ah dan lainnya
dari pemilik hadist atau tulisan tersebut.
C. Ilmu Jarah dan
Ta’dil
Jarah secara bahasa diambil dari kata
jariha-yajrahu-jarahan yang artinya terkena luka. Sedangkan secara istilah,
jarah adalah nampaknya sifat pada rawi yang merusakan keadilannya, atau
mencedarakan hafalannya, karena itu
gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah periwayatannya[1].
SedangkanTa’dil secara bahasa berarti menyamakan. Menurut istilah, Ta’dil
adalah lawan dari jarah, yang berarti
pembersihan atau pensucian rawi dan menetapan
bahwarowi itu
adil dan
dhabit.
Jadi, Ilmu Jarah dan Ta’diladalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya 'aib atau
memberikan pujian adil kepada seorang rawi.
Ilmu ini berfungsi untuk mengetahui kelayakan rawi untuk meriwayatkan suatu
hadits. Jika rawi cacat, maka periwayatannya ditolak, begitu pula sebaliknya.
Untuk bisa menilai seorang rawi, seseorang harus memenuhi beberapa kaidah,
yaitu pertama, Al-amanah wa al-nazahah. Yaitu mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan
tetapi juga kelebihan perawi, seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Sirin,
“Saya
telah berbuat dzalim terhadap saudaramu jika hanya menyebutkan keburukannya
dengan tanpa menyebutkan kebaikannya”.
Kedua, Ad Dqiqotu fiAl Bahsi wa Al Hukmi. Yaitu mereka sangat serius dalam meneliti
keadaan perawi yang diperbincangkan. Mayoritas ulama bisa mendiskripsikan
keadaan para rawi, karena mereka
pernah bergaul langsung dengan para rawi atau murni karena persangkaan
mereka, dan mereka membedakan antara lemahnya rawi yang lemah dalam
beragama dan dari lemahnya hafalan.
Ketiga, Iltizam ‘ala Al Adab fi
Al Jarah. Yaitu ‘ulamaJarh wa
ta’dildalam ijtihad mereka untuk memberikan kritikan tidak akan
keluar dari etika penelitian yang bersifat ilmiah yang sahih. Kritikan yang
paling tajam kepada rawi hanya memakai ungkapan “fulan
adalahorang yang lemah atau pembohong”.Bahkan sebagian dari mereka
tidak memakai kata “pembohong” tapi dengan ucapan “ia
adalah orang yang tidak jujur”.
Ta’dil
mempunyai beberapa tingkatan dan lafadz, pertama, lafadz yang
menunjukan pada mubalaghah (sangat) dalam kepercayaan atau dengan
menggunakan wazan af'ala, dan ini merupakan tingkatan teratas, contoh:
, أثبت
الناسحفظا وعدالةأوثق الناس
Kedua, dengan kata-kata
yang menguatkanta’dilnya dengan satu sifat atau
dua sifat, contoh: ثقت ثبت ,ثقت ثقة
Ketiga, yang paling
rendah adalah kata-kata pujian yang dekat dengan jarah
yang paling ringan, contoh: صالح,
مقارب,
يروى حديثه
Ketigatingkatan dan lafadz Ta’dil di atas merupakan tingkatan teratas.
Masih ada lagi beberapa tingkatan yang tidak disertakan dalam makalah ini.
Sedangkan tingkatan dan lafadz Jarah juga mempunyai tingkatan dan
lafadz, pertama, yang paling kerasadalah yang
menyebutkan tingkatan puncak dalam celaan, contoh: كن
الكذب, أكذب
الناس.
Kedua, yang menunjukkan berlebih-lebihan, akan tetapi
tidak sampai seperti yang pertama, contoh: كذاب,
وضاع,
دجال.
Ketiga, yangmenunjukkan paling
ringan, contoh:لينٌ,
سيئُ الحفظ,
فيه مقال.
Ada beberapa kritikan
yang ditujukan kepada Ilmu Jarh dan Ta’dil, pertama, terlalu banyak rawi yang perlu dinilai dan dikritik. Kedua, dalam menilai,
para kritikus tidak mengkhususkan diri menilai orang yang semasa. Ketiga, penyusunan kitab tentang Jarah Wa Ta’dil dengan informasi yang sangat minim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istilah ‘Ulum
Al Hadits
berasal dari dua kata, yaitu
‘ulum
dan hadiits.‘Ulum
merupakan bentuk jama’ dari kata ‘ilmyang
berarti ilmu pengetahuan. Sedangkan haditsadalahsesuatu yang baru atau lawan dari qadim dan bisa juga berarti kabar
atau berita dari seseorang.Dengan
demikian, istilah ‘Ulumu Al Haditsadalah ilmupengetahuan yang mempelajari masalah hadits
dengan berbagai aspeknya. Pengertian ini didasarkan atas banyaknya macam
keilmuan yang membahas permasalahan Hadits.
Ada delapan cara penerimaan
hadits:
1.
As Simaa’i
2.
Al Qira’ah ‘ala Asy Syaikh
3.
Al Ijazah
4.
Al Munawalah
5.
Al Mukatabah
6.
I'lam Asy Syaikh
7.
Al Washiyah
8.
Al Wijadah
Jarah secara bahasa diambil dari kata
jariha-yajrahu-jarahan yang artinya terkena luka. Sedangkan secara istilah,
jarah adalah nampaknya sifat pada rawi yang merusakan keadilannya, atau
mencedarakan hafalannya, karena itu
gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah periwayatannya. SedangkanTa’dil
secara bahasa berarti menyamakan. Menurut istilah, Ta’dil adalah lawan
dari jarah, yang berarti pembersihan atau pensucian rowi dan menetapan
bahwarowi itu adil dan dhabit. Jadi, Ilmu Jarah dan Ta’diladalah
ilmu pengetahuan yang membahas
tentang kritikan adanya 'aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rowi.
Daftar
Pustaka
Al-Jurjani, Ali bin
Muhammal, Al Ta’rifat, Beirut
:Dar al-fikr al-ilmiyyah.
Al-Tahya, Mahmud, Taysir Musthalah Al-Hadits, Surabaya :
Bangkul Indah.
Ash-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar
Ilmu Hadits,
Jakarta : Bulan Bintang.
Lajnah
I’dad Al Mawad Ad Dirosiyah, Muqoror
‘Ilmi Al Hadits, Yogyakarta: Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah.
Rinsyah, October, Al-Hadits, Yogyakarta : Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga.
TM.
Hasbi Ash Shidieqy, "Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis", jil. II
Jakarta: Bulan Bintang.
[1]TM.
Hasbi Ash Shidieqy, "Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis", jil. II
Jakarta: Bulan Bintang, hal:204
No comments:
Post a Comment