PROPOSAL
PENELITIAN
“PENGARUH
MUHASABAH TERHADAP KETENANGAN JIWA SISWA SMP PANTI ASUHAN SINAR MELATI
YOGYAKARTA”
Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktikum Psikologi Eksperimen
Dosen pengampu : Miftahun
Ni’mah Suseno, S.Psi, M.A, Psi
Disusun Oleh:
1.
Agus Susanto 11710113
2.
Siti Rahayu Alam 11710061
3.
Dimas Setiawan 11710022
4.
Sinta Nourmawati 11710084
5.
M. Mafrohim 087100
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
A.
LATAR BELAKANG
Masa remaja merupakan masa-masa kritis
dimana terjadi peralihan antara masa anak-anak menuju kepada kedewasaan. Masa
remaja mempunyai tempat yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan
seseorang. Ia tidak termasuk golongan anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan
orang dewasa atau golongan tua. Remaja masih belum mampu untuk menguasai
fungsi-fungsi fisik dan psikisnya. (Monks, dkk, 2001). Selain itu, adanya
banyak perubahan dalam diri remaja, seperti perubahan fisik, emosi, pola
hubungan sosial, dll. seringkali menimbulkan hal-hal yang tidak mengenakkan
dalam diri remaja. Dengan kondisi yang seperti itu, remaja sangat rentan
terhadap berbagai permasalahan yang dapat menimbulkan kecemasan dalam diri
mereka.
Selain berbagai permasalahan yang
berhubungan dengan proses peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa,
remaja juga dihadapkan dengan tuntutan moral yang berkaitan dengan nilai-nilai
agama dan tatanan sosial. Agama sebagai sebuah identitas dan kebutuhan hidup
dapat mengantarkan manusia menuju kepada kehidupan yang penuh ketenangan dan
kebahagiaan jika mampu dilaksanakan dengan sepenuh hati dan ikhlas. Namun di
satu sisi, tuntutan moral yang ada dalam agama juga dapat menyebabkan tumbulnya
berbagai kecemasan, khususnya pada diri remaja, ketika mereka tidak mampu
memahami dan menyelaraskan diri dengan tuntutan-tuntutan moral yang terdapat
dalam ajaran agama.
Dengan berbagai kondisi tersebut,
diperlukan sebuah metode yang efektif untuk menghilangkan berbagai kecemasan
dan menghadirkan ketenangan dalam diri remaja, khususnya berkaitan dengan
berbagai permasalahan yang dihadapi remaja. Salah satu metode yang dapat
digunakan untuk mengatasi berbagai hal tersebut adalah dengan melakukan
muhasabah, yaitu suatu aktivitas untuk mengevaluasi diri atau bisa juga disebut
introspeksi diri.
Dalam sebuah riwayat, Umar bin
Khattab pernah menulis surat pada beberapa pejabatnya: “Perhitungkanlah dirimu
di waktu senang sebelum datang perhitungan yang berat. Barangsiapa yang
menghisab dirinya di waktu senang sebelum perhitungan yang berat, maka ia akan
ridha dan mendapat keberuntungan. Sebaliknya, siapa yang kehidupannya
melalaikannya dan nafsunya menyibukkannya, maka ia akan menyesal dan mendapat
kerugian.” (Al ‘Ulyawi, 2007)
Berdasarkan riwayat di atas,
muhasabah dapat mendatangkan keridhaan yang akan berujung pada ketenangan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melepaskan dan mencapai kematangan
emosi adalah dengan katarsis emosi. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah
dengan latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis.
(Hurlock, 1995)
Muhasabah
atau instrospeksi diri merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh dalam
rangka katarsis emosi. Selama proses muhasabah, seringkali seseorang sampai
menangis karena teringat akan kesalahan-kesalahannya. Hal ini merupakan sebuah
proses untuk menumpahkan emosi-emosi yang tersimpan dalam hati sehingga dapat
menimbulkan kelegaan dan ketenangan dalam hati.
Dari berbagai uraian di atas, peneliti
tertarik untuk meneliti tentang pengaruh muhasabah terhadap ketenangan diri
pada siswa SMA putri di Panti Asuhan “Sinar Melati” Yogyakarta.
B.
DASAR TEORI
1.
Ketenangan Jiwa
a.
Pengertian Ketenangan Jiwa
Menurut
Prof Dr Js Badudu dan prof. Sutan Muhammad Zein dalam kamus umum bahasa
Indonesia, kata mutmainnah bisa diartikan
sebagai bentuk ketenangan, lawan gelisah, resah, tidak berteriak, tidak ada
keributan atau kerusuhan atau tidak ribut.(JS Badudu dan sutan Mohammad Zein,
kamus umum bahasa Indonesia (Jakarta: pustaka sinar harapan 1994), hlm 1474.
Dalam
istilah arab kata mutmainnah berasal
dari kata tamana atau ta’mana yang mendapat tambahan huruf
ziyadah berupa huruf hamzah menjadi kata itma’anna
yang mempunyai arti menenangkan atau mendiamkan sesuatu. Dari pengertian di
atas sangat tepat dengan kata mutmainah yang ditemukan dalam Al-Qur’an seperti
QS. Ar-Ra’d (13): 28, QS. Al-Isra’ (17):95 dan sebagainya. Sedangkan kata nafsu
yang diambil dari redaksi bahasa arab nafs, adalah jiwa. An-nafs dalam
kebanyakan terjemahan dalam bahasa Indonesia, diartikan dengan jiwa atau
diri.(Mahmud Yunus, kamus arab-indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hl
42.
Secara
umum , dapat juga dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang
manusia menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.
(Departemen pendidikan dan kebudayaan RI, kamus besar Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1993), hlm 505. Dalam pandangan
Al-Qur’an nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi
menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dari keburukan dan karena itu,
sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian
lebih besar. “Demi nafs serta
penyempurnaan ciptaan Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaan (QS.
Asy-syams (91): 7-8”.
Menurut
tafsir Al-Maraghi, mutmainnah adalah ketenangan jiwa setelah adanya
kegoncangan. Aksudnya adalah ketetapan pada apa yang telah dipegang setelah
menerima goncangan akibat paksaan (tafsir al-maraghi, hlm 260-261). Fakhrur
Razy, ahli tafsir tersohor pernah menguraikan dalam “Tafsit Kabir”, bahwa jiwa
(hati) manusia memang hanya satu, tetapi sifat-sifatnya banyak dan
bermacam-macam. Apabila hati itu lebih condong kepada nilai-nilai ke-Tuhanan
dan mengikuti petunjuk-petunjuk Illahi, maka ia bernama Nafs Al-Mutmainah, jiwa yang tenang dan tenteram. Jika ia condong
kepada hawa nafsu dan marah maka ia dinamakan denga Ammarah Bissu’, yaitu hati yang dipenuhi oleh kejahatan.(Ar-Razi,
tafsir Ar-Razi, hlm 23-24). jadi pengertian jiwa tenang adalah jiwa yang
beriman dan tidak digelitik rasa takut dan duka hati. Mutmainnah, bisa
diartikan sebagai jiwa yang ikhlas, yakin dan beriman. Ibnu abbas
mengartikannya sebagai jiwa yang beriman. Imam Hasan, mendefinisikan sebagai
jiwa yang beriman dan yakin. Sedangkan Imam Mujahidin mengartikannya sebagai
jiwa yang ridha dengan ketentuan Allah yang tahu bahwa sesuatu yang menjadi
bagiannya pasti akan dating kepadanya. Adapun Ibnu Atha’ mengartikannya sebagai
Jiwa yang ‘arif billah (mengenal Allah) yang tak sabar untuk jumpa dengan Allah
walau sekejap.
Dikalangan
beberapa Ulama merumuskan bahwa jiwa yang mutmainnah
(tenang) itu ialah jiwa yang disinari oleh akal yang rasional. Jiwa yang tenang
itu tumbuh karena kemampuan menempatkan sesuatu kepada tempat yang sewajarnya
dan senantiasa meletakkannya di atas dasar Iman. Dengan dasar iman maka manusia
akan menerima segala sesuatu yang dihadapinya, baik senang maupun susah, baik
menang maupun kalah dan lain sebagainya dihadapinya dengan perasaan ridha.
Dalam situasi lain mereka yang bersifat muthmainnah
ini, dapat menguasai diri dalam keadaan apapun, berfikiran rasional, mampu
menciptakan keseimbangan dalam dirinya, hatinya tetap tenang dan tenteram. Jiwa
yang tenang senantiasa merasa ridha menghadapi apapun keadaan yabng menimpanya
juga senantiasa mendapat keridhaan Illahi, seperti yang dinyatakan dalam
Alqur’an: “wahai jiwa yang tenang lagi
tenteram, kembalilah kepada Tuhanmu, merasa senang kepada Allah dan Allah
senang pula kepadanya. Masuklah dan berkumpul bersama-sama hamba-Ku dan
masuklah ke dalam surge-Ku.” (QS. Al-Fajr (89): 27-28).
Menurut
Al-Qur’an jiwa yang tenang disaluti dengan memiliki keyakinan yang tidak goyah
terhadap kebenaran, seperti yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 16. Ia
juga merasa aman, bebas dari rasa takut dan sedih di dunia dan ahirat kelak
serta memiliki hati yang tenteram karena selalu mengingat Allah. Apabila ini
terjadi pada hakikatnya seseorang itu telah mencapai puncak
kebahagiaan.(Muhammad ‘usman najati, Al-qur’an wa Ilmu nafs... hlm 11-15).
Kata
mutmainnah sebagian ahli mengatakan bisa diambil dari kata tuma’ninah. Maka tuma’ninah
tidak berarti diam, statis dan berhenti, sebab dalam tuma’ninah terdapat aktifitas yang disertai dengan perasaan tenang.
Apabila istilah tuma’ninah memeiliki
arti statis dan tidak bergerak bararti jiwa manusia tidak akan berkembang
dengan hal itu pada dasarnya menyalahi hukum logika perkembangan.
Ketenangan
dirasakan oleh individu disebabkan karena aktifitas yang dilakukan tetap dalam
prosedur yang benar, tidak menyalahi aturan dan tidak sedikitpun terindikasi
berbuat makar. Sulit bisa diterima jika individu beraktifitas dengan tenang
sementara aktifitas yang dilakukan berlabel dosa dan maksiat. Jika perbuatan
dosa dan maksiat itu tidak dapat menyenangkan atau bahkan menenangkan individu
maka sifatnya hanya sesaat untuk kemudian akan berakibat pada penderitaan dan
keresahan selama-lamanya.
Kata
ketenangan searti dengan kata ketentraman (Departemen P dan K, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 927). Zakiah Daradjat
menggunakan kata ketentraman jiwa dan kesehatan menjual dalam suatu pengertian
sebagaimana ungkapannya yaitu “ketidak ketentraman hati, atau kurang sehatnya
mental, sangat mempengaruhi kelakuan dan tindakan seseorang. (Zakiah Daradjat, Kesehatan
Mental, Gunung Agung, Jakarta, 1983, hlm.22). Kesehatan mental berarti
terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta kesanggupan
untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan merasakan secara
positif kebahagiaan dan kemampuan darinya. Manusia yang memiliki jiwa yang
tenang dan tentram ia selalu merasa bahwa perbuatannya berada dalam pengawasan
Allah. Ia hanya mengamalkan hal-hal yang bersifat rohaniah, yang bisa mengisi
jiwanya. Dari pendapat tersebut diatas dapatlah disampaikan bahwa ketenangan
jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
jiwa dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya serta
merasa perbuatannya berada dalam pengawasan Allah.
b.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketenangan Jiwa
Setiap
orang menginginkan dan mengharapkan jiwa yang tenang, tentram dan jauh dari
ketegangan-ketegangan serta konflik-konflik kejiwaan untuk memperoleh dan
mendapatkan kondisi yang tenang, maka setiap orang perlu memperhatikan
factor-faktor yang mendukung agar jiwa menjadi tenang adalah:
a. Faktor agama
Dari
kacamata agama memandang manusia akan mempunyai jiwa yang tenang apabila
manusia tersebut mempunyai iman yang kuat. Menurut pendapat Zakiah Daradjat
bahwa: “Bagi jiwa yang sedang gelisah, agama akan memberi jalan dan siraman
penenang hati. Tidak sedikit kita mendengar orang yang kebingungan dalam
hidupnya selama ia belum beragama, tetapi setelah mulai mengenal dan
menjalankan agama, ketenangan jiwa akan datang. (Dr. Zakiah Daradjat, Peranan
Agama dalam kesehatan mental, Haji Mas Agung, Jakarta, 1990, hlm..61). Pelaksanaan
agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi diri dari rasa kegelisahan.
Adapun yang dapat dilakukan adalah dengan mengingat Allah, dengan berdo’a
ataupun dengan membaca al-Qur’an.
b. Faktor Psikologi
Dalam
pandangan psikologi ada beberapa factor yang mendukung supaya jiwa tenang
diantara dikemukakan Kartini Kartono. (Dr. Kartini Kartono, Dr. Jenny Andary, Hygiene
Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Mandar Maju, Bandung, hlm.29-30).
1. Terpenuhinya kebutuhan pokok
Setiap
individu selalu memiliki dorongan-dorongan dan kebutuhan-kebutuhan pokok yang bersifat
organis (fisik dan psikis) dan yang bersifat sosial, kebutuhan-kebutuhan dan
dorongan-dorongan menurut pemuasan.
2. Kepuasan
Setiap
orang menginginkan kepuasan, baik yang bersifat jasmaniah maupun yang bersifat
psikis.
3. Posisi dan status sosial
Setiap
individu selalu berusaha mencari posisi sosial dan status sosial dalam
lingkungannya. Selama posisi dan status sosial itu sesuai dengan harapan dan
kemampuan dirinya maka individu tersebut tidak akan mempunyai jiwa yang
berimbang. Dari pandangan psikologi dapat dipahami bahwa orang akan mampu
merasa sejahtera/tenang jiwanya apabila orang tersebut mamapu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat fisik, psikis maupun sosial.
c.
Aspek-Aspek Ketenangan Jiwa
1. Sabar
“Secara
etmologi, sabar berarti teguh hati tanpa mengeluh di jumpa bencana. Menurut
pengertian Islam, sabar ialah tahan menderita sesuatu yang tidak disenangi
dengan ridha dan ikhlas serta berserah diri kepada Allah. Sabar itu membentuk
jiwa manusia menjadi kuat dan teguh tatkala menghadapi bencana (musibah). (Drs.
Asmaran As.,MA., Pengantar Studi Akhlak, Rajawali Pers, Jakarta, 1992,
hlm.228). Kebahagiaan, keuntungan, keselamatan, hanya dapat dicapai dengan
usaha secara tekun terus menerus dengan penuh kesabaran, keteguhan hati, sebab
sabar adalah azas untuk melakukan segala usaha, tiang untuk realisasi segala
cita-cita. “Sabar bukan berarti menyerah tanpa syarat, tetapi sabar adalah
terus berusaha dengan hati yang tetap, berikhlas, sampai cita-cita dapat
berhasil dan dikala menerima cobaan dari Allah SWT, wajiblah ridha dan hati
yang ikhlas. (Drs. Barmawie Umary, Materi Akhlak, Ramadhani, Solo, 1995,
hlm.52).
2. Optimisme
Sikap
optimis dapat digambarkan sebagai cahaya dalam kegelapan dan memperluas wawasan
berfikir. Dengan optimisme, cinta akan kebaikan tumbuh di dalam diri manusia,
dan menumbuhkan perkembangan baru dalam pandangannya tentang kehidupan. “Tidak
ada satu penyebabpun yang mampu mengurangi jumlah problem dalam kehidupan
manusia seperti yang diperankan optimisme. Cirri-ciri kebahagiaan itu lebih
tampak pada wajah-wajah orang yang optimis tidak saja dalam hal kepuasan tetapi
juga seluruh kehidupan baikdalam situasi positif maupun negatif. Disetiap saat
sinar kebahagiaan menerangi jiwa orang yang optimisme. (Dr. H. Hamzah Ya’kub, Etika
Islam, CV, Diponegoro, Bandung, 1996, hlm. 142).
3. Merasa dekat dengan Allah
Orang
yang tentram jiwanya akan merasa dekat dengan Allah dan akan sel;alu merasa
pengawasan Allah SWT. dengan demikian akan hati-hati dalam bertindak dan
menentukan langkahnya. Ia akan berusaha untuk menjalankan apa yang
diperintahkan Allah dan akan menjauhi segala yang tidak diridhai Allah.
“Kesadaran manusia akan melekat eksistensinya oleh tangan Tuhan akan memekarkan
kepercayaan dan harapan bisa hidup bahagia sejahtera juga memiliki rasa keseimbangan
dan keselarasan lahir dan batin.”9 Adanya perasaan dekat dengan Allah, manusia
akan merasa tentram hidupnya karena ia akan merasa terlindungi dan selalu
dijaga oleh Allah sehingga ia merasa aman dan selalu mengontrol segala
perbuatannya. “Tanpa kesadaran akan relasi dengan Tuhan maka akan menimbulkan ketakutan
dan kesedihan dan rasa tidak aman (tidak terjamin yang kronis serta kegoncangan
jiwa”.
2.
Muhasabah
a.
Pengertian Muhasabah
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
[Q.S.Al-Hasyr (59):18]
Muhasabah berasal dari kata
hasibah yang artinya
menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah
diidentikan dengan
menilai diri sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi diri.
Dari
firman Allah diatas tersirat suatu perintah untuk senantiasa melakukan
muhasabah supaya hari esok akan lebih baik.(Yuyu,2008)
Umar r.a.
mengemukakan: ‘Hisablah diri kamu
sebelum kamu dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kamu untuk hari aradh akbar (yaumul
hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan
pada hari kiamat bagi orang yang
menghisab dirinya
di dunia.(Yuyu,2008)
b.
Urgensi Muhasabah
Firman Allah dalam Al-Qur’an : “ Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati”(Q.S Ali Imran, 3:185), kemudian sesudah mati
kita akan dihidupkan kembali, sebagaimana firman-Nya : “Sesungguhnya, kamu akan
dibangkitkan sesudah mati”(Q.S. Huud, 11:7).
Maka dalam melakukan
muhasabah, seorang muslim menilai dirinya, apakah
dirinya lebih banyak berbuat baik
ataukah lebih banyak berbuat kesalahan dalam kehidupan sehari-harinya. Dia mesti objektif melakukan penilaiannya dengan
menggunakan Al- Qur’an
dan Sunnah sebagai dasar penilaiannya bukan
berdasarkan keinginan diri sendiri.
Oleh karena itu melakukan muhasabah atau introspeksi
diri merupakan hal yang sangat penting untuk menilai apakah amal
perbuatannya sudah sesuai dengan ketentuan Allah. Tanpa introspeksi, jiwa manusia tidak akan menjadi baik.
Imam Turmudzi
meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga Maimun bin Mihran mengenai urgensi muhasabah.
Umar r.a. mengemukakan: “Hisablah diri
kalian
sebelum kalian
dihisab, dan
berhiaslah
(bersiaplah)
kalian untuk
akhirat (yaumul hisab). Al Hasan
mengatakan
:
orang-orang
mumin selalu mengevaluasi
dirinya
karena Allah. Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia”.
Maimun bin Mihran r.a. menyampaikan: “Seorang
hamba
tidak dikatakan
bertakwa
hingga ia
menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya”.
Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang
menghadap Allah SWT. sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya.
Firman Allah:
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.”
[QS. Maryam (19): 95]
c.
Aspek-Aspek yang Perlu di Muhasabah
Firman
Allah :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [QS. Adz-Dzaariyaat (51):56]
Berdasarkan ayat diatas, maka yang harus
dimuhasabahi
meliputi
seluruh
aspek
kehidupan kita,
baik yang berhubungan dengan Allah
(ubudiyah) maupun hubungan dengan sesama manusia
(muamalah) yang mengandung nilai ibadah.
Aspek-aspek tersebut diantaranya adalah:
1.
Aspek ibadah yang berhubungan dengan Allah
Dalam pelaksanaan ibadah
ini harus sesuai dengan ketentuan dalam Al-Quran dan Rosul-Nya.
Dalam
hal ini
Rasulluh
SAW telah
bersabda
:
“Apabila ada sesuatu
urusan duniamu,
maka kamu lebih mengetahui. Dan apabila ada
urusan agamamu, maka rujuklah kepadaku “. (HR.
Ahmad).
2.
Aspek pekerjaan dan perolehan Rezeki
Aspek kedua ini sering dilupakan bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan. Karena aspek ini diangggap semata-mata urusan
duniawi yang tidak memberikan
pengaruh pada aspek ukhrawinya.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak
akan
bergerak
telapak
kaki
ibnu Adam pada
hari
kiamat, hingga
ia ditanya tentang 5
perkara; umurnya untuk
apa dihabiskannya, masa mudanya kemana dipergunakannya, hartanya dari mana ia memperolehnya dan ke mana
dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’
(HR. Turmudzi).
3.
Aspek kehidupan social
Aspek kehidupan sosial dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu ?’ Sahabat menjawab:
“Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.”
Rasulullah saw.bersabda:
‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia
juga datang dengan membawa (dosa), menuduh, mencela,
memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain.
Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah
habis, sebelum tertunaikan kewajibannya,
diambillah dosa-dosa
mereka
dan dicampakkan
pada
dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Apabila melalaikan aspek ini, maka pada akhir khayatnya orang
akan membawa
pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain.
d.
Manfaat Muhasabah
1. Mengetahui
aib
sendiri.
Barangsiapa
yang
tidak
memeriksa
aib
dirinya, maka ia tidak akan mungkin menghilangkannya.
2. Dengan bermuhasabah, seseorang akan kritis pada dirinya
dalam menunaikan hak Allah. Demikianlah keadaan kaum salaf, mereka mencela diri mereka dalam menunaikan hak Allah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Darda y bahwa beliau berkata: "Seseorang itu tidak dikatakan faqih dengan sebenar-benarnya sampai ia menegur
manusia dalam hal hak Allah, lalu ia gigih mengoreksi dirinya.
3. Diantara
buah
dari
muhasabah
adalah
membantu
jiwa
untuk
muraqabah. Kalau ia bersungguh-sungguh melakukannya di masa hidupnya, maka ia
akan beristirahat di masa kematiannya. Apabila ia mengekang dirinya
dan menghisabnya sekarang,
maka ia akan istirahat kelak di saat kedahsyatan hari penghisaban.
4. Diantara
buahnya adalah akan terbuka bagi seseorang pintu kehinaan dan ketundukan di
hadapan Allah.
5. Manfaat paling besar yang akan diperoleh adalah
keberuntungan masuk dan menempati
Surga Firdaus serta
memandang Wajah Rabb Yang Mulia lagi Maha Suci. Sebaliknya jika ia menyia-nyiakannya maka ia akan merugi dan masuk ke neraka,
serta terhalang dari (melihat) Allah dan terbakar dalam adzab yang
pedih. (Syaikh Shalih Al-‘Ulyawi, 2007).
3.
Pengaruh Muhasabah Terhadap Ketenangan Jiwa
Ketenenangan
jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
jiwa dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya serta
merasa perbuatannya berada dalam pengawasan Allah.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi ketenangan jiwa yaitu Dari kacamata agama memandang manusia
akan mempunyai jiwa yang tenang apabila manusia tersebut mempunyai iman yang
kuat. Menurut pendapat Zakiah Daradjat bahwa: “Bagi jiwa yang sedang gelisah,
agama akan memberi jalan dan siraman penenang hati. Tidak sedikit kita
mendengar orang yang kebingungan dalam hidupnya selama ia belum beragama,
tetapi setelah mulai mengenal dan menjalankan agama, ketenangan jiwa akan
datang. (Dr. Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam kesehatan mental, Haji
Mas Agung, Jakarta, 1990, hlm..61). Pelaksanaan agama dalam kehidupan
sehari-hari dapat membentengi diri dari rasa kegelisahan. Adapun yang dapat
dilakukan adalah dengan mengingat Allah, dengan berdo’a ataupun dengan membaca
al-Qur’an.
Muhasabah
adalah proses introspeksi diri yaitu berfikir sejenak ketika hendak berbuat
sesuatu, dan jangan langsung mengerjakan sampai nyata baginya kemaslahatan
untuk melakukan atau tidaknya. Muhasabah ini ada tiga jenis:
1. Mengintrospeksi ketaatan berkaitan
dengan hak Allah yang belum sepenuhnya ia lakukan, lalu ia juga muhasabah,
apakah ia sudah melakukan ketaatan pada Allah sebagaimana yang dikehendaki-Nya
atau belum.
2. Introspeksi diri terhadap setiap
perbuatan yang mana meninggalkannya adalah lebih baik dari melakukannya.
3. Introspeksi diri tentang perkara yang
mubah atau sudah menjadi kebiasaan, mengapa mesti ia lakukan(Syaikh Shalih
Al-‘Ulyawi,2007)
Untuk
mendatangkan ketenangan jiwa salah satunya yang dapat di lakukan dengan
mengingat Allah, dan salah satu jenis muhasabah yaitu mengintrospeksi ketaatan
berkaitan dengan hak Allah yang belum sepenuhnya ia lakukan, lalu ia juga
muhasabah, apakah ia sudah melakukan ketaatan pada Allah sebagaimana yang
dikehendaki-Nya atau belum sehingga muhasabah merupakan proses mengingat Allah,
dengan begitu ketenangan jiwa dapat di capai melalui muhasabah diri.
Gambar 1. Dinamika peningkatan
ketenangan jiwa setelah muhasabah
C.
HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
adanya pengaruh muhasabah terhadap ketenangan jiwa pada siswi SMA Putri
Panti Asuhan Sinar Melati Yogyakarta.
D.
VARIABEL PENELITIAN
1.
Variabel Tergantung
Variabel
tergantung dalam penelitian ini adalah ketenangan jiwa.
2.
Variabel Bebas
Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah muhasabah.
3.
Definisi Operasional
a.
Variabel Tergantung (Ketenangan Jiwa)
Ketenenangan
jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
jiwa dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya serta
merasa perbuatannya berada dalam pengawasan Allah.
b.
Variabel Bebas (Muhasabah)
Muhasabah
berasal dari kata
hasibah yang artinya
menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah
diidentikan dengan
menilai diri sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi diri.
E.
METODE PENELITIAN
1.
Desain Penelitian
Rancangan
eksperimen ini menggunakan desain penelitian eksperimen kuasi yaitu menggunakan
one group pre test post test design.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan satu kelompok dengan pre test dan
post test. Dalam penentuan sampelnya tidak dilakukan randomisasi dan tidak
menggunakan kelompok kontrol sebagai pembanding kelompok perlakuan. Setelah
dilakukan pre test dan kemudian dilakukan post test atau pengujian kembali
setelah dilakukan perlakuan untuk melihat perubahan.
2.
Teknik Pengambilan Populasi dan Sampel
Populasi
adalah keseluruhan objek penelitian baik terdiri dari benda yang nyata,
abstrak, peristiwa ataupun gejala yang merupakan sumber data dan memiliki
karakter tertentu dan sama (Sukandar, 2004). Populasi yang diambil dalam
penelitian ini adalah siswi
SMA Putri Panti Asuhan Sinar
Melati Yogyakarta.
Sampel
adalah sebagian dari jumlah populasi yang dipilih untuk sumber data (Sukardi,
2005). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
teknik non-random. Dengan metode non-probabilitas sampling, yaitu
pengambilan sampel tidak dengan random, biasanya
dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sampel dalam penelitian ini adalah
siswi SMA Putri
Panti Asuhan Sinar Melati Yogyakarta yang memiliki
nilai skor ketenangan jiwa rendah berdasarkan hasil pre-test.
F.
SUBJEK PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah siswi SMA Putri pada Panti Asuhan
Sinar Melati Yogyakarta. Karakteristik utama subjek dalam penelitian ini yaitu
:
-
Siswi SMA Panti Asuhan Sinar
Melati
-
Usia
15-17 tahun
-
Jenis kelamin perempuan
-
Beragama
islam (muslim)
-
Memiliki
nilai skor ketenangan jiwa rendah
G.
PROSEDUR PEMBERIAN PERLAKUAN
1. Material (alat dan bahan eksperimen)
a) Laptop
b) Speaker
c) Bolpen
d) Skala Ketenangan Jiwa
2. Prosedur Pelaksanaan / Intruksi
a. Hari Pertama
a) Seluruh subjek penelitian dikumpulkan
dalam ruangan yang sama
b) Para peneliti memperkenalkan secara singkat
mengenai dirinya
c) Subjek diberikan pengarahan mengenai
jalannya penelitian ekperimen
d) Pelaksanaan pretest diberikan kepada sampel penelitian, yaitu siswa SMP pada
Panti Asuhan Sinar Melati Yogyakarta
b. Hari kedua (Setelah dipilih responden
penelitian yang memiliki nilai skor ketenangan jiwa dibawah rata-rata kelas
tersebut)
a) Responden dikumpulkan di sebuah ruangan
b) Perkenalan singkat para peneliti dan Building Rapport
c) Responden diminta untuk duduk rileks agar nyaman selama proses
muhasabah berlangsung
d) Peneliti memberikan intruksi lainnya
bersamaan dengan berlangsungnya proses muhasabah dengan memberikan kata-kata
dan alunan musik untuk mengajak responden bermuhasabah diri (introspeksi diri)
e) Setelah proses muhasabah selesai,
responden diminta untuk mengisi skala ketenangan jiwa sebagai posttest
f) Pada akhir pertemuan, peneliti
mengucapkan terima kasih kepada responden.
H.
METODE PENGUMPULAN DATA
Penelitian ini menggunakan skala ketenangan jiwa milik
Anita Sahara (2006). Skala ini mengungkap tingkat ketenangan jiwa seseorang,
dalam skala ini terdapat pilihan jawaban pada masing-masing aitem terdiri dari
lima kategori : Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS),
Sangat Tidak Sesuai (STS). Setiap kategori diberi nilai sebagai berikut :
a. Untuk aitem-aitem favorable jawaban
SS,S,N,TS,STS masing-masing diberi nilai 4,3,2,1,0
b. Untuk aitem-aitem unfavorable jawaban
SS,S,N,TS,STS masing-masing diberi nilai 0,1,2,3,4
Persebaran aitem dalam
skala ketenangan jiwa adalah sebagai berikut :
No.
|
Komponen
/ Aspek
|
Aitem
Favourable
|
Aitem
Unfavourable
|
Jumlah
|
1
|
Ridha
|
2, 6, 27
|
9, 17, 23, 47
|
7
|
2
|
Sabar
|
1, 14, 28, 33
|
11, 22, 26, 34
|
8
|
3
|
Syukur
|
4, 15, 36, 44, 46
|
20, 24, 42, 45
|
9
|
4
|
Ikhlas
|
7, 13, 19, 32, 39, 43, 50
|
3, 16, 29, 48
|
11
|
5
|
Taubat
|
30, 35, 37, 49
|
10, 21, 40
|
7
|
6
|
Tawakkal
|
12, 25, 31, 41
|
5, 8, 18, 38
|
8
|
Jumlah
|
27
|
23
|
50
|
Tabel 1.
Persebaran aitem sebelum try out
No.
|
Komponen
/ Aspek
|
Aitem
Favourable
|
Aitem
Unfavourable
|
Jumlah
|
1
|
Ridha
|
2, 6, 27
|
9, 17, 47
|
6
|
2
|
Sabar
|
33
|
22, 26, 34
|
4
|
3
|
Syukur
|
15, 36, 44, 46
|
24, 42
|
6
|
4
|
Ikhlas
|
19, 43, 50
|
16, 29
|
5
|
5
|
Taubat
|
30, 35, 37, 49
|
10, 21, 40
|
7
|
6
|
Tawakkal
|
12, 31
|
5, 8, 18, 38
|
6
|
Jumlah
|
15
|
16
|
31
|
Tabel
2. Persebaran aitem setelah try out
No.
|
Komponen
/ Aspek
|
Aitem
Favourable
|
Aitem
Unfavourable
|
Jumlah
|
1
|
Ridha
|
1, 3, 16
|
5, 10, 29
|
6
|
2
|
Sabar
|
19
|
13, 15, 20
|
4
|
3
|
Syukur
|
8, 22, 27, 28
|
14, 25
|
6
|
4
|
Ikhlas
|
12, 26, 31
|
9, 17
|
5
|
5
|
Taubat
|
21, 30
|
6, 24
|
4
|
6
|
Tawakkal
|
7, 18
|
2, 4, 11, 23
|
6
|
Jumlah
|
15
|
16
|
31
|
Tabel
3. Persebaran aitem setelah try out
dan diurutkan
I.
VALIDITAS DAN RELIABILITAS
1.
Validitas
Validitas
ialah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi ukurnya
(Azwar,1999). Suatu tes dapat dikatakanmempunyai validitas yang tinggi apabila
tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang tepat
dan akurat.Terkait dengan tujuan ukurnya, maka skala hanya dapat menghasilkan
data yang valid untuk satu tujuan ukur saja. Validitas merupakan satu kualitas
yang harus dimiliki oleh suatu skala, sehingga harus dijaga sejak awal
perencanaan, administrasi dan pemberian skor.
2.
Reliabilitas
Reliabilitas berarti
keajegan atau konsistensi.Reliabilitas merupakan sejauh mana suatu pengukuran
dapat dipercaya. Reliabilitas adalah konsistensi
atau keterpercayaan hasil ukur,termasuk juga kecermatan pengukuran. Alat ukur
dikatakan reliable (andal) jika alat ukur tersebut memiliki sifat konstan,
stabil atau tepat. Jadi, alat ukur dinyatakan reliable apabila diujicobakan
terhadap sekelompok subyek akan tetap sama hasilnya, walaupun dalam waktu yang
berbeda, dan/atau jika dikenakan pada lain subyek yang sama karakteristiknya
hasilnya akan sama juga. Ada beberapa teknik untuk menguji reliabilitas alat
ukur. Menurut Hadi ( 1980) ada tiga teknik yang biasanya digunakan, yaitu (1)
teknik ulangan, (2) teknik belah dua, dan (3) teknik paralel. Reliabilitas pada
penelitian ini di ukur dengan menggunakan Cronbach Alpha.
Dari hasil olah data menggunakan
SPSS, reliabilitas yang dimiliki skala tersebut adalah 0.962. Angka
reliabilitas tersebut lebih besar dari 0,80 dan mendekati 1 layak digunakan dalam penelitian ini.
J.
METODE ANALISIS DATA
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji
hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode Wilcoxon signed rank Test dan menggunakan SPSS 16,0 for Windows.
DAFTAR
PUSTAKA
Al ‘Ulyawi, Shalih. 2007. Muhasabah.
Islamhaouse.com
http://digilib.uin-suka.ac.id/3894/1/BAB%20I,V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
diakses pukul 16.38 WIB tanggal 20 mei 2013.
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1-2006-fitriyahni-1387-bab4_410-1.pdf
diakses pukul 22.47 WIB tanggal 21 mei 2013.
Hurlock, E.B. 1995. Psikologi
Perkembangan: Suatu pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta:
Erlangga.
Monks, F.J., A.M.P. Knoers, Siti Rahayu
Haditono. 2001. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sahara,
Anita. (2006). Skripsi : Pengaruh
Mujahadah Terhadap Ketenangan Jiwa Pada Jama’ah JTMJP “Padang Jagad” Pondok
Pesantren Al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Dakwah UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
LAMPIRAN
Skala Ketenangan Jiwa
No.
|
Pernyataan
|
SS
|
S
|
TS
|
STS
|
1
|
Shalat dengan
khusyu’ menjadikan saya ridha dengan segala ketentuan Allah SWT.
|
||||
2
|
Dalam hidup
ini saya tidak perlu usaha karena semua telah ditentukan oleh Alah SWT.
|
||||
3
|
Keridhaan
Allah SWT tergantung dari niat saya
|
||||
4
|
Apabila saya
shalat dengan seenaknya, saya akan mencapai keridhaan Allah SWT.
|
||||
5
|
Bila saya
memohon ampun pada Allah SWT harus dengan syarat-syarat yang berat.
|
||||
6
|
Dengan
berikhtiar dan tawakal saya menerima apa yang ditakdirkan Allah SWT
|
||||
7
|
Memberi pada
yang membutuhkan, merupakan bukti syukur saya pada Allah SWT.
|
||||
8
|
Setiap saya beribadah,
saya akan mengharapkan pahala dari Allah SWT, dan itu termasuk salah satu
bentuk keikhlasan saya
|
||||
9
|
Saya selalu
memohon ridha Allah SWT tanpa meminta ridha orangtua saya
|
||||
10
|
Apa yang saya
dapatkan selama ini semata-mata karena usaha saya sendiri
|
||||
11
|
Jika saya
berbuat ikhlas, ibadah saya akan diterima oleh Allah SWT
|
||||
12
|
Kesabaran saya
ada batasnya
|
||||
13
|
Dengan
bersyukur saya akan mendapatkan adah dari Allah SWT
|
||||
14
|
Kesabaran saya
ada tingkatannya
|
||||
No.
|
Pernyataan
|
SS
|
S
|
TS
|
STS
|
15
|
Keridhaan
Allah SWT tergantung dari keridhaan orangtua saya
|
||||
16
|
Sifat sabar
saya adalah bagian dari iman
|
||||
17
|
Saya akan
berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan sesuatu yang direbut orang
lain
|
||||
18
|
Dengan
berserah diri pada Allah SWT merupakan salah satu bentuk dari keimanan saya
|
||||
19
|
Puasa sunnat
akan melatih kesabaran saya, baik terhadap kenikmatan maupun terhadap cobaan
|
||||
20
|
Dengan
mujahadah akan menepis rasa sabar saya
|
||||
21
|
Saya memohon
ampun dengan sungguh-sungguh pasti taubat saya diterima
|
||||
22
|
Setiap saya
bersyukur nikmat saya bertambah
|
||||
23
|
Tawakal tidak
memberikan ketenangan jiwa pada diri saya
|
||||
24
|
Sebaiknya saya
memohon ampun satu tahun sekali
|
||||
25
|
Jika memberi
kepada orang yang membutuhkan membuat saya menjadi miskin
|
||||
26
|
Setiap saya
berbuat baik dan beribadah dengan ikhlas akan mendapatkan pahala dari Allah
SWT
|
||||
27
|
Dengan selalu
bersyukur atas segala nikmat-Nya, akan menjadikan saya lebih senang
|
||||
28
|
Saya selalu
bersyukur setelah saya mendapatkan rezeki
|
||||
29
|
Saya tidak
selalu memiliki sifat ridha
|
||||
30
|
Dengan membaca
Al-Qur’an dosa-dosa saya akan terhapus
|
||||
31
|
Sedikit atau
banyak bershodaqoh membutuhkan keihlasan saya
|
No comments:
Post a Comment