30 May 2013

Contoh Proposal Penelitian by: Sinta

PROPOSAL PENELITIAN
“PENGARUH MUHASABAH TERHADAP KETENANGAN JIWA SISWA SMP PANTI ASUHAN SINAR MELATI YOGYAKARTA”
Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktikum Psikologi Eksperimen
Dosen pengampu : Miftahun Ni’mah Suseno, S.Psi, M.A, Psi


Disusun Oleh:
1.      Agus Susanto              11710113
2.      Siti Rahayu Alam        11710061
3.      Dimas Setiawan          11710022
4.      Sinta Nourmawati       11710084
5.      M. Mafrohim               087100


PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
A.    LATAR BELAKANG
Masa remaja merupakan masa-masa kritis dimana terjadi peralihan antara masa anak-anak menuju kepada kedewasaan. Masa remaja mempunyai tempat yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan seseorang. Ia tidak termasuk golongan anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik dan psikisnya. (Monks, dkk, 2001). Selain itu, adanya banyak perubahan dalam diri remaja, seperti perubahan fisik, emosi, pola hubungan sosial, dll. seringkali menimbulkan hal-hal yang tidak mengenakkan dalam diri remaja. Dengan kondisi yang seperti itu, remaja sangat rentan terhadap berbagai permasalahan yang dapat menimbulkan kecemasan dalam diri mereka.
            Selain berbagai permasalahan yang berhubungan dengan proses peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa, remaja juga dihadapkan dengan tuntutan moral yang berkaitan dengan nilai-nilai agama dan tatanan sosial. Agama sebagai sebuah identitas dan kebutuhan hidup dapat mengantarkan manusia menuju kepada kehidupan yang penuh ketenangan dan kebahagiaan jika mampu dilaksanakan dengan sepenuh hati dan ikhlas. Namun di satu sisi, tuntutan moral yang ada dalam agama juga dapat menyebabkan tumbulnya berbagai kecemasan, khususnya pada diri remaja, ketika mereka tidak mampu memahami dan menyelaraskan diri dengan tuntutan-tuntutan moral yang terdapat dalam ajaran agama.   
            Dengan berbagai kondisi tersebut, diperlukan sebuah metode yang efektif untuk menghilangkan berbagai kecemasan dan menghadirkan ketenangan dalam diri remaja, khususnya berkaitan dengan berbagai permasalahan yang dihadapi remaja. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai hal tersebut adalah dengan melakukan muhasabah, yaitu suatu aktivitas untuk mengevaluasi diri atau bisa juga disebut introspeksi diri.
            Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khattab pernah menulis surat pada beberapa pejabatnya: “Perhitungkanlah dirimu di waktu senang sebelum datang perhitungan yang berat. Barangsiapa yang menghisab dirinya di waktu senang sebelum perhitungan yang berat, maka ia akan ridha dan mendapat keberuntungan. Sebaliknya, siapa yang kehidupannya melalaikannya dan nafsunya menyibukkannya, maka ia akan menyesal dan mendapat kerugian.” (Al ‘Ulyawi, 2007)
            Berdasarkan riwayat di atas, muhasabah dapat mendatangkan keridhaan yang akan berujung pada ketenangan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melepaskan dan mencapai kematangan emosi adalah dengan katarsis emosi. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah dengan latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis. (Hurlock, 1995)
Muhasabah atau instrospeksi diri merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh dalam rangka katarsis emosi. Selama proses muhasabah, seringkali seseorang sampai menangis karena teringat akan kesalahan-kesalahannya. Hal ini merupakan sebuah proses untuk menumpahkan emosi-emosi yang tersimpan dalam hati sehingga dapat menimbulkan kelegaan dan ketenangan dalam hati.
Dari berbagai uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh muhasabah terhadap ketenangan diri pada siswa SMA putri di Panti Asuhan “Sinar Melati” Yogyakarta.

B.     DASAR TEORI
1.      Ketenangan Jiwa
a.      Pengertian Ketenangan Jiwa
Menurut Prof Dr Js Badudu dan prof. Sutan Muhammad Zein dalam kamus umum bahasa Indonesia, kata mutmainnah bisa diartikan sebagai bentuk ketenangan, lawan gelisah, resah, tidak berteriak, tidak ada keributan atau kerusuhan atau tidak ribut.(JS Badudu dan sutan Mohammad Zein, kamus umum bahasa Indonesia (Jakarta: pustaka sinar harapan 1994), hlm 1474.
Dalam istilah arab kata mutmainnah berasal dari kata tamana atau ta’mana yang mendapat tambahan huruf ziyadah berupa huruf hamzah menjadi kata itma’anna yang mempunyai arti menenangkan atau mendiamkan sesuatu. Dari pengertian di atas sangat tepat dengan kata mutmainah yang ditemukan dalam Al-Qur’an seperti QS. Ar-Ra’d (13): 28, QS. Al-Isra’ (17):95 dan sebagainya. Sedangkan kata nafsu yang diambil dari redaksi bahasa arab nafs, adalah jiwa. An-nafs dalam kebanyakan terjemahan dalam bahasa Indonesia, diartikan dengan jiwa atau diri.(Mahmud Yunus, kamus arab-indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hl 42.
Secara umum , dapat juga dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk. (Departemen pendidikan dan kebudayaan RI, kamus besar Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm 505.  Dalam pandangan Al-Qur’an nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dari keburukan dan karena itu, sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. “Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaan (QS. Asy-syams (91): 7-8”.
Menurut tafsir Al-Maraghi, mutmainnah adalah ketenangan jiwa setelah adanya kegoncangan. Aksudnya adalah ketetapan pada apa yang telah dipegang setelah menerima goncangan akibat paksaan (tafsir al-maraghi, hlm 260-261). Fakhrur Razy, ahli tafsir tersohor pernah menguraikan dalam “Tafsit Kabir”, bahwa jiwa (hati) manusia memang hanya satu, tetapi sifat-sifatnya banyak dan bermacam-macam. Apabila hati itu lebih condong kepada nilai-nilai ke-Tuhanan dan mengikuti petunjuk-petunjuk Illahi, maka ia bernama Nafs Al-Mutmainah, jiwa yang tenang dan tenteram. Jika ia condong kepada hawa nafsu dan marah maka ia dinamakan denga Ammarah Bissu’, yaitu hati yang dipenuhi oleh kejahatan.(Ar-Razi, tafsir Ar-Razi, hlm 23-24). jadi pengertian jiwa tenang adalah jiwa yang beriman dan tidak digelitik rasa takut dan duka hati. Mutmainnah, bisa diartikan sebagai jiwa yang ikhlas, yakin dan beriman. Ibnu abbas mengartikannya sebagai jiwa yang beriman. Imam Hasan, mendefinisikan sebagai jiwa yang beriman dan yakin. Sedangkan Imam Mujahidin mengartikannya sebagai jiwa yang ridha dengan ketentuan Allah yang tahu bahwa sesuatu yang menjadi bagiannya pasti akan dating kepadanya. Adapun Ibnu Atha’ mengartikannya sebagai Jiwa yang ‘arif billah (mengenal Allah) yang tak sabar untuk jumpa dengan Allah walau sekejap.
Dikalangan beberapa Ulama merumuskan bahwa jiwa yang mutmainnah (tenang) itu ialah jiwa yang disinari oleh akal yang rasional. Jiwa yang tenang itu tumbuh karena kemampuan menempatkan sesuatu kepada tempat yang sewajarnya dan senantiasa meletakkannya di atas dasar Iman. Dengan dasar iman maka manusia akan menerima segala sesuatu yang dihadapinya, baik senang maupun susah, baik menang maupun kalah dan lain sebagainya dihadapinya dengan perasaan ridha. Dalam situasi lain mereka yang bersifat muthmainnah ini, dapat menguasai diri dalam keadaan apapun, berfikiran rasional, mampu menciptakan keseimbangan dalam dirinya, hatinya tetap tenang dan tenteram. Jiwa yang tenang senantiasa merasa ridha menghadapi apapun keadaan yabng menimpanya juga senantiasa mendapat keridhaan Illahi, seperti yang dinyatakan dalam Alqur’an: “wahai jiwa yang tenang lagi tenteram, kembalilah kepada Tuhanmu, merasa senang kepada Allah dan Allah senang pula kepadanya. Masuklah dan berkumpul bersama-sama hamba-Ku dan masuklah ke dalam surge-Ku.” (QS. Al-Fajr (89): 27-28).
Menurut Al-Qur’an jiwa yang tenang disaluti dengan memiliki keyakinan yang tidak goyah terhadap kebenaran, seperti yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 16. Ia juga merasa aman, bebas dari rasa takut dan sedih di dunia dan ahirat kelak serta memiliki hati yang tenteram karena selalu mengingat Allah. Apabila ini terjadi pada hakikatnya seseorang itu telah mencapai puncak kebahagiaan.(Muhammad ‘usman najati, Al-qur’an wa Ilmu nafs... hlm 11-15).
Kata mutmainnah sebagian ahli mengatakan bisa diambil dari kata tuma’ninah. Maka tuma’ninah tidak berarti diam, statis dan berhenti, sebab dalam tuma’ninah terdapat aktifitas yang disertai dengan perasaan tenang. Apabila istilah tuma’ninah memeiliki arti statis dan tidak bergerak bararti jiwa manusia tidak akan berkembang dengan hal itu pada dasarnya menyalahi hukum logika perkembangan.
Ketenangan dirasakan oleh individu disebabkan karena aktifitas yang dilakukan tetap dalam prosedur yang benar, tidak menyalahi aturan dan tidak sedikitpun terindikasi berbuat makar. Sulit bisa diterima jika individu beraktifitas dengan tenang sementara aktifitas yang dilakukan berlabel dosa dan maksiat. Jika perbuatan dosa dan maksiat itu tidak dapat menyenangkan atau bahkan menenangkan individu maka sifatnya hanya sesaat untuk kemudian akan berakibat pada penderitaan dan keresahan selama-lamanya.
Kata ketenangan searti dengan kata ketentraman (Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 927). Zakiah Daradjat menggunakan kata ketentraman jiwa dan kesehatan menjual dalam suatu pengertian sebagaimana ungkapannya yaitu “ketidak ketentraman hati, atau kurang sehatnya mental, sangat mempengaruhi kelakuan dan tindakan seseorang. (Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Gunung Agung, Jakarta, 1983, hlm.22). Kesehatan mental berarti terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan darinya. Manusia yang memiliki jiwa yang tenang dan tentram ia selalu merasa bahwa perbuatannya berada dalam pengawasan Allah. Ia hanya mengamalkan hal-hal yang bersifat rohaniah, yang bisa mengisi jiwanya. Dari pendapat tersebut diatas dapatlah disampaikan bahwa ketenangan jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya serta merasa perbuatannya berada dalam pengawasan Allah.
b.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketenangan Jiwa
Setiap orang menginginkan dan mengharapkan jiwa yang tenang, tentram dan jauh dari ketegangan-ketegangan serta konflik-konflik kejiwaan untuk memperoleh dan mendapatkan kondisi yang tenang, maka setiap orang perlu memperhatikan factor-faktor yang mendukung agar jiwa menjadi tenang adalah:
a.    Faktor agama
Dari kacamata agama memandang manusia akan mempunyai jiwa yang tenang apabila manusia tersebut mempunyai iman yang kuat. Menurut pendapat Zakiah Daradjat bahwa: “Bagi jiwa yang sedang gelisah, agama akan memberi jalan dan siraman penenang hati. Tidak sedikit kita mendengar orang yang kebingungan dalam hidupnya selama ia belum beragama, tetapi setelah mulai mengenal dan menjalankan agama, ketenangan jiwa akan datang. (Dr. Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam kesehatan mental, Haji Mas Agung, Jakarta, 1990, hlm..61). Pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi diri dari rasa kegelisahan. Adapun yang dapat dilakukan adalah dengan mengingat Allah, dengan berdo’a ataupun dengan membaca al-Qur’an.
b.   Faktor Psikologi
Dalam pandangan psikologi ada beberapa factor yang mendukung supaya jiwa tenang diantara dikemukakan Kartini Kartono. (Dr. Kartini Kartono, Dr. Jenny Andary, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Mandar Maju, Bandung, hlm.29-30).
1.    Terpenuhinya kebutuhan pokok
Setiap individu selalu memiliki dorongan-dorongan dan kebutuhan-kebutuhan pokok yang bersifat organis (fisik dan psikis) dan yang bersifat sosial, kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan menurut pemuasan.
2.     Kepuasan
Setiap orang menginginkan kepuasan, baik yang bersifat jasmaniah maupun yang bersifat psikis.
3.    Posisi dan status sosial
Setiap individu selalu berusaha mencari posisi sosial dan status sosial dalam lingkungannya. Selama posisi dan status sosial itu sesuai dengan harapan dan kemampuan dirinya maka individu tersebut tidak akan mempunyai jiwa yang berimbang. Dari pandangan psikologi dapat dipahami bahwa orang akan mampu merasa sejahtera/tenang jiwanya apabila orang tersebut mamapu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat fisik, psikis maupun sosial.
c.       Aspek-Aspek Ketenangan Jiwa
1.      Sabar
“Secara etmologi, sabar berarti teguh hati tanpa mengeluh di jumpa bencana. Menurut pengertian Islam, sabar ialah tahan menderita sesuatu yang tidak disenangi dengan ridha dan ikhlas serta berserah diri kepada Allah. Sabar itu membentuk jiwa manusia menjadi kuat dan teguh tatkala menghadapi bencana (musibah). (Drs. Asmaran As.,MA., Pengantar Studi Akhlak, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hlm.228). Kebahagiaan, keuntungan, keselamatan, hanya dapat dicapai dengan usaha secara tekun terus menerus dengan penuh kesabaran, keteguhan hati, sebab sabar adalah azas untuk melakukan segala usaha, tiang untuk realisasi segala cita-cita. “Sabar bukan berarti menyerah tanpa syarat, tetapi sabar adalah terus berusaha dengan hati yang tetap, berikhlas, sampai cita-cita dapat berhasil dan dikala menerima cobaan dari Allah SWT, wajiblah ridha dan hati yang ikhlas. (Drs. Barmawie Umary, Materi Akhlak, Ramadhani, Solo, 1995, hlm.52).
2.      Optimisme
Sikap optimis dapat digambarkan sebagai cahaya dalam kegelapan dan memperluas wawasan berfikir. Dengan optimisme, cinta akan kebaikan tumbuh di dalam diri manusia, dan menumbuhkan perkembangan baru dalam pandangannya tentang kehidupan. “Tidak ada satu penyebabpun yang mampu mengurangi jumlah problem dalam kehidupan manusia seperti yang diperankan optimisme. Cirri-ciri kebahagiaan itu lebih tampak pada wajah-wajah orang yang optimis tidak saja dalam hal kepuasan tetapi juga seluruh kehidupan baikdalam situasi positif maupun negatif. Disetiap saat sinar kebahagiaan menerangi jiwa orang yang optimisme. (Dr. H. Hamzah Ya’kub, Etika Islam, CV, Diponegoro, Bandung, 1996, hlm. 142).
3.      Merasa dekat dengan Allah
Orang yang tentram jiwanya akan merasa dekat dengan Allah dan akan sel;alu merasa pengawasan Allah SWT. dengan demikian akan hati-hati dalam bertindak dan menentukan langkahnya. Ia akan berusaha untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan akan menjauhi segala yang tidak diridhai Allah. “Kesadaran manusia akan melekat eksistensinya oleh tangan Tuhan akan memekarkan kepercayaan dan harapan bisa hidup bahagia sejahtera juga memiliki rasa keseimbangan dan keselarasan lahir dan batin.”9 Adanya perasaan dekat dengan Allah, manusia akan merasa tentram hidupnya karena ia akan merasa terlindungi dan selalu dijaga oleh Allah sehingga ia merasa aman dan selalu mengontrol segala perbuatannya. “Tanpa kesadaran akan relasi dengan Tuhan maka akan menimbulkan ketakutan dan kesedihan dan rasa tidak aman (tidak terjamin yang kronis serta kegoncangan jiwa”.



2.      Muhasabah
a.      Pengertian Muhasabah



“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
[Q.S.Al-Hasyr (59):18]

Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah  diidentikan dengan menilai diri sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi diri. Dari firman Allah diatas tersirat suatu perintah untuk senantiasa melakukan muhasabah supaya hari esok akan lebih baik.(Yuyu,2008)
Umar r.a. mengemukakan: ‘Hisablah diri kamu sebelum kamu dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kamu untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab dirinya di dunia.(Yuyu,2008)
b.      Urgensi Muhasabah
Firman Allah dalam Al-Qur’an : “ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”(Q.S Ali Imran, 3:185), kemudian sesudah mati kita akan dihidupkan kembali, sebagaimana firman-Nya : “Sesungguhnya, kamu akan dibangkitkan sesudah mati”(Q.S. Huud, 11:7).
Maka dalam melakukan muhasabah, seorang muslim menila dirinya, apakah dirinya lebih banyak berbuat baik ataukah lebih banyak berbuat kesalahan dalam kehidupan sehari-harinya. Dia mesti objektif melakukan penilaiannya dengan menggunakan Al-  Qur’an dan Sunnah sebagai dasar penilaiannya bukan berdasarkan keinginan diri sendiri.
Oleh karena itu melakukan muhasabah atau introspeksi diri merupakan hal yang sangat penting untuk menilai apakah amal perbuatannya sudah sesuai dengan ketentuan Allah. Tanpa introspeksi, jiwa manusia tidak akan menjadi baik.
Imam Turmudzi meriwayatkan  ungkapan Umar bin Khattab dan juga Maimun bin Mihran mengenai urgensi  muhasabah.
Umar r.a. mengemukakan: Hisablah  diri  kalian  sebelum  kalian  dihisab,  dan  berhiaslah  (bersiaplah)  kalian untuk  akhirat (yaumul hisab). Al  Hasan  mengatakan  :  orang-orang  mumin  selalu  mengevaluasi  dirinya  karena Allah. Dan bahwasanya  hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia”.
Maimun bin Mihran r.a. menyampaikan: “Seorang  hamba  tidak  dikatakan  bertakwa  hingga  ia  menghisab  dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya”.
Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah SWT. sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya.  Firman Allah:


“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.”
[QS. Maryam (19): 95]

c.       Aspek-Aspek yang Perlu di Muhasabah

Firman Allah :



“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”  [QS. Adz-Dzaariyaat (51):56]

Berdasarkan ayat diatas, maka yang harus dimuhasabahi  meliputi seluruh aspek kehidupan  kita, baik yang berhubungan    dengan Allah (ubudiyah)  maupun hubungan dengan sesama manusia (muamalah) yang mengandung nilai ibadah. Aspek-aspek tersebut diantaranya adalah:
1.        Aspek ibadah yang berhubungan dengan Allah
Dalam pelaksanaan ibadah ini harus sesuai dengan ketentuan dalam Al-Quran dan Rosul-Nya. Dalam hal  ini  Rasulluh SAW  telah  bersabda  :  “Apabila  ada  sesuatu urusa duniamumak kam lebi mengetahui. Da apabila   ada urusan agamamu, maka rujuklah kepadaku “. (HR. Ahmad).
2.        Aspek pekerjaan dan perolehan Rezeki
Aspek kedua ini sering dilupakan bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan. Karena aspek ini diangggap semata-mat urusan  duniawyang  tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak  akan  bergerak   telapak  kaki  ibnu  Adam  pada  hari  kiamat,  hingga  ia ditanya  tentang  5  perkara;  umurnya  untuk  apa  dihabiskannya, masa mudanya kemana dipergunakannya,  hartanya dari mana ia memperolehnya dan ke mana  dibelanjakannya, dan  ilmunya  sejauh  mana  pengamalannya.’ (HR. Turmudzi).
3.        Aspek kehidupan social
Aspek kehidupan sosial dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya  aspek ini juga sangat penting sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu ?’ Sahabat menjawab: Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.”
Rasulullah saw.bersabda: ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang denga membaw (dosa),      menuduh,   mencela,   memaka harta orang lain, memukul (mengintimidasi)  orang lain.
Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah  dosa-dosa  mereka  dan dicampakkan  pada  dirinya,  lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Apabila  melalaikan  aspek  ini,  maka  pada  akhir  khayatnya  orang  akan  membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain.

d.      Manfaat Muhasabah
1.      Mengetahui  aib  sendiri.  Barangsiapa  yang  tidak  memeriksa  aib dirinya, maka ia tidak akan mungkin menghilangkannya.
2.      Dengan bermuhasabah, seseorang akan kritis pada dirinya dalam menunaikan hak Allah. Demikianlah keadaan kaum salaf, mereka mencela diri mereka dalam menunaikan hak Allah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Darda y bahwa beliau berkata: "Seseorang itu tidak dikatakan faqih dengan sebenar-benarnya sampai ia menegur manusia dalam hal hak Allah, lalu ia gigih mengoreksi dirinya.
3.      Diantara  buah  dari  muhasabah  adalah  membantu  jiwa  untuk muraqabah. Kalau ia bersungguh-sungguh melakukannya di masa hidupnya, maka ia akan beristirahat di masa kematiannya. Apabila ia mengekang dirinya dan menghisabnya sekarang, maka ia akan istirahat kelak di saat kedahsyatan hari penghisaban.
4.      Diantara buahnya adalah akan terbuka bagi seseorang pintu kehinaan dan ketundukan di hadapan Allah.
5.      Manfaat paling besar yang akan diperoleh adalah keberuntungan masuk dan menempati Surga Firdaus serta memandang Wajah Rabb Yang Mulia lagi Maha Suci. Sebaliknya jika ia menyia-nyiakannya maka ia akan merugi dan masuk ke neraka, serta terhalang dari (melihat) Allah dan terbakar dalam adzab yang pedih. (Syaikh Shalih Al-‘Ulyawi, 2007).



3.      Pengaruh Muhasabah Terhadap Ketenangan Jiwa
Ketenenangan jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya serta merasa perbuatannya berada dalam pengawasan Allah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketenangan jiwa yaitu Dari kacamata agama memandang manusia akan mempunyai jiwa yang tenang apabila manusia tersebut mempunyai iman yang kuat. Menurut pendapat Zakiah Daradjat bahwa: “Bagi jiwa yang sedang gelisah, agama akan memberi jalan dan siraman penenang hati. Tidak sedikit kita mendengar orang yang kebingungan dalam hidupnya selama ia belum beragama, tetapi setelah mulai mengenal dan menjalankan agama, ketenangan jiwa akan datang. (Dr. Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam kesehatan mental, Haji Mas Agung, Jakarta, 1990, hlm..61). Pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi diri dari rasa kegelisahan. Adapun yang dapat dilakukan adalah dengan mengingat Allah, dengan berdo’a ataupun dengan membaca al-Qur’an.
Muhasabah adalah proses introspeksi diri yaitu berfikir sejenak ketika hendak berbuat sesuatu, dan jangan langsung mengerjakan sampai nyata baginya kemaslahatan untuk melakukan atau tidaknya. Muhasabah ini ada tiga jenis: 
1.    Mengintrospeksi ketaatan berkaitan dengan hak Allah yang belum sepenuhnya ia lakukan, lalu ia juga muhasabah, apakah ia sudah melakukan ketaatan pada Allah sebagaimana yang dikehendaki-Nya atau belum.
2.    Introspeksi diri terhadap setiap perbuatan yang mana meninggalkannya adalah lebih baik dari melakukannya. 
3.    Introspeksi diri tentang perkara yang mubah atau sudah menjadi kebiasaan, mengapa mesti ia lakukan(Syaikh Shalih Al-‘Ulyawi,2007)
Untuk mendatangkan ketenangan jiwa salah satunya yang dapat di lakukan dengan mengingat Allah, dan salah satu jenis muhasabah yaitu mengintrospeksi ketaatan berkaitan dengan hak Allah yang belum sepenuhnya ia lakukan, lalu ia juga muhasabah, apakah ia sudah melakukan ketaatan pada Allah sebagaimana yang dikehendaki-Nya atau belum sehingga muhasabah merupakan proses mengingat Allah, dengan begitu ketenangan jiwa dapat di capai melalui muhasabah diri.
 











Gambar 1. Dinamika peningkatan ketenangan jiwa setelah muhasabah

C.    HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh muhasabah terhadap ketenangan jiwa pada siswi SMA Putri Panti Asuhan Sinar Melati Yogyakarta.

D.    VARIABEL PENELITIAN
1.      Variabel Tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah ketenangan jiwa.
2.      Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah muhasabah.
3.      Definisi Operasional
a.      Variabel Tergantung (Ketenangan Jiwa)
Ketenenangan jiwa adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya serta merasa perbuatannya berada dalam pengawasan Allah.
b.      Variabel Bebas (Muhasabah)
Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah  diidentikan dengan menilai diri sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi diri.

E.     METODE PENELITIAN
1.      Desain Penelitian
Rancangan eksperimen ini menggunakan desain penelitian eksperimen kuasi yaitu menggunakan one group pre test post test design. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan satu kelompok dengan pre test dan post test. Dalam penentuan sampelnya tidak dilakukan randomisasi dan tidak menggunakan kelompok kontrol sebagai pembanding kelompok perlakuan. Setelah dilakukan pre test dan kemudian dilakukan post test atau pengujian kembali setelah dilakukan perlakuan untuk melihat perubahan.
2.      Teknik Pengambilan Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian baik terdiri dari benda yang nyata, abstrak, peristiwa ataupun gejala yang merupakan sumber data dan memiliki karakter tertentu dan sama (Sukandar, 2004). Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah siswi SMA Putri Panti Asuhan Sinar Melati Yogyakarta.
Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi yang dipilih untuk sumber data (Sukardi, 2005). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik non-random. Dengan metode non-probabilitas sampling, yaitu pengambilan sampel tidak dengan random, biasanya dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sampel dalam penelitian ini adalah siswi SMA Putri Panti Asuhan Sinar Melati Yogyakarta yang memiliki nilai skor ketenangan jiwa rendah berdasarkan hasil pre-test.
F.     SUBJEK PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah siswi SMA Putri pada Panti Asuhan Sinar Melati Yogyakarta. Karakteristik utama subjek dalam penelitian ini yaitu :
-          Siswi SMA Panti Asuhan Sinar Melati
-          Usia 15-17 tahun
-          Jenis kelamin perempuan
-          Beragama islam (muslim)
-          Memiliki nilai skor ketenangan jiwa rendah
G.    PROSEDUR PEMBERIAN PERLAKUAN
1.      Material (alat dan bahan eksperimen)
a)      Laptop
b)      Speaker
c)      Bolpen
d)     Skala Ketenangan Jiwa
2.      Prosedur Pelaksanaan / Intruksi
a.       Hari Pertama
a)      Seluruh subjek penelitian dikumpulkan dalam ruangan yang sama
b)      Para peneliti memperkenalkan secara singkat mengenai dirinya
c)      Subjek diberikan pengarahan mengenai jalannya penelitian ekperimen
d)     Pelaksanaan pretest diberikan kepada sampel penelitian, yaitu siswa SMP pada Panti Asuhan Sinar Melati Yogyakarta
b.      Hari kedua (Setelah dipilih responden penelitian yang memiliki nilai skor ketenangan jiwa dibawah rata-rata kelas tersebut)
a)      Responden dikumpulkan di sebuah ruangan
b)      Perkenalan singkat para peneliti dan Building Rapport
c)      Responden diminta untuk duduk rileks agar nyaman selama proses muhasabah berlangsung
d)     Peneliti memberikan intruksi lainnya bersamaan dengan berlangsungnya proses muhasabah dengan memberikan kata-kata dan alunan musik untuk mengajak responden bermuhasabah diri (introspeksi diri)
e)      Setelah proses muhasabah selesai, responden diminta untuk mengisi skala ketenangan jiwa sebagai posttest
f)       Pada akhir pertemuan, peneliti mengucapkan terima kasih kepada responden.

H.    METODE PENGUMPULAN DATA
Penelitian ini menggunakan skala ketenangan jiwa milik Anita Sahara (2006). Skala ini mengungkap tingkat ketenangan jiwa seseorang, dalam skala ini terdapat pilihan jawaban pada masing-masing aitem terdiri dari lima kategori : Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Setiap kategori diberi nilai sebagai berikut :
a.    Untuk aitem-aitem favorable jawaban SS,S,N,TS,STS masing-masing diberi nilai 4,3,2,1,0
b.    Untuk aitem-aitem unfavorable jawaban SS,S,N,TS,STS masing-masing diberi nilai 0,1,2,3,4



Persebaran aitem dalam skala ketenangan jiwa adalah sebagai berikut :

No.
Komponen / Aspek
Aitem Favourable
Aitem Unfavourable
Jumlah
1
Ridha
2, 6, 27
9, 17, 23, 47
7
2
Sabar
1, 14, 28, 33
11, 22, 26, 34
8
3
Syukur
4, 15, 36, 44, 46
20, 24, 42, 45
9
4
Ikhlas
7, 13, 19, 32, 39, 43, 50
3, 16, 29, 48
11
5
Taubat
30, 35, 37, 49
10, 21, 40
7
6
Tawakkal
12, 25, 31, 41
5, 8, 18, 38
8
Jumlah
27
23
50
Tabel 1. Persebaran aitem sebelum try out
No.
Komponen / Aspek
Aitem Favourable
Aitem Unfavourable
Jumlah
1
Ridha
2, 6, 27
9, 17, 47
6
2
Sabar
33
22, 26, 34
4
3
Syukur
15, 36, 44, 46
24, 42
6
4
Ikhlas
19, 43, 50
16, 29
5
5
Taubat
30, 35, 37, 49
10, 21, 40
7
6
Tawakkal
12, 31
5, 8, 18, 38
6
Jumlah
15
16
31
Tabel 2. Persebaran aitem setelah try out



No.
Komponen / Aspek
Aitem Favourable
Aitem Unfavourable
Jumlah
1
Ridha
1, 3, 16
5, 10, 29
6
2
Sabar
19
13, 15, 20
4
3
Syukur
8, 22, 27, 28
14, 25
6
4
Ikhlas
12, 26, 31
9, 17
5
5
Taubat
21, 30
6, 24
4
6
Tawakkal
7, 18
2, 4, 11, 23
6
Jumlah
15
16
31
Tabel 3. Persebaran aitem setelah try out dan diurutkan

I.       VALIDITAS DAN RELIABILITAS
1.      Validitas
Validitas ialah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi ukurnya (Azwar,1999). Suatu tes dapat dikatakanmempunyai validitas yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat.Terkait dengan tujuan ukurnya, maka skala hanya dapat menghasilkan data yang valid untuk satu tujuan ukur saja. Validitas merupakan satu kualitas yang harus dimiliki oleh suatu skala, sehingga harus dijaga sejak awal perencanaan, administrasi dan pemberian skor.
2.      Reliabilitas
Reliabilitas berarti keajegan atau konsistensi.Reliabilitas merupakan sejauh mana suatu pengukuran dapat dipercaya. Reliabilitas adalah konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur,termasuk juga kecermatan pengukuran. Alat ukur dikatakan reliable (andal) jika alat ukur tersebut memiliki sifat konstan, stabil atau tepat. Jadi, alat ukur dinyatakan reliable apabila diujicobakan terhadap sekelompok subyek akan tetap sama hasilnya, walaupun dalam waktu yang berbeda, dan/atau jika dikenakan pada lain subyek yang sama karakteristiknya hasilnya akan sama juga. Ada beberapa teknik untuk menguji reliabilitas alat ukur. Menurut Hadi ( 1980) ada tiga teknik yang biasanya digunakan, yaitu (1) teknik ulangan, (2) teknik belah dua, dan (3) teknik paralel. Reliabilitas pada penelitian ini di ukur dengan menggunakan Cronbach Alpha.
Dari hasil olah data menggunakan SPSS, reliabilitas yang dimiliki skala tersebut adalah 0.962. Angka reliabilitas tersebut lebih besar dari 0,80 dan mendekati 1 layak  digunakan dalam penelitian ini.
J.      METODE ANALISIS DATA
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode Wilcoxon signed rank Test dan menggunakan SPSS 16,0 for Windows.



DAFTAR PUSTAKA

Al ‘Ulyawi, Shalih. 2007. Muhasabah. Islamhaouse.com
http://tausyiah275.blogsome.com/2007/01/18/muhasabah/,  diakses pukul 13.00 WIB tanggal 20 mei 2013
Hurlock, E.B. 1995. Psikologi Perkembangan: Suatu pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Monks, F.J., A.M.P. Knoers, Siti Rahayu Haditono. 2001. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sahara, Anita. (2006). Skripsi : Pengaruh Mujahadah Terhadap Ketenangan Jiwa Pada Jama’ah JTMJP “Padang Jagad” Pondok Pesantren Al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


LAMPIRAN
Skala Ketenangan Jiwa
No.
Pernyataan
SS
S
TS
STS
1
Shalat dengan khusyu’ menjadikan saya ridha dengan segala ketentuan Allah SWT.




2
Dalam hidup ini saya tidak perlu usaha karena semua telah ditentukan oleh Alah SWT.




3
Keridhaan Allah SWT tergantung dari niat saya




4
Apabila saya shalat dengan seenaknya, saya akan mencapai keridhaan Allah SWT.




5
Bila saya memohon ampun pada Allah SWT harus dengan syarat-syarat yang berat.




6
Dengan berikhtiar dan tawakal saya menerima apa yang ditakdirkan Allah SWT




7
Memberi pada yang membutuhkan, merupakan bukti syukur saya pada Allah SWT.




8
Setiap saya beribadah, saya akan mengharapkan pahala dari Allah SWT, dan itu termasuk salah satu bentuk keikhlasan saya




9
Saya selalu memohon ridha Allah SWT tanpa meminta ridha orangtua saya




10
Apa yang saya dapatkan selama ini semata-mata karena usaha saya sendiri




11
Jika saya berbuat ikhlas, ibadah saya akan diterima oleh Allah SWT




12
Kesabaran saya ada batasnya




13
Dengan bersyukur saya akan mendapatkan adah dari Allah SWT




14
Kesabaran saya ada tingkatannya




No.
Pernyataan
SS
S
TS
STS
15
Keridhaan Allah SWT tergantung dari keridhaan orangtua saya




16
Sifat sabar saya adalah bagian dari iman




17
Saya akan berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan sesuatu yang direbut orang lain




18
Dengan berserah diri pada Allah SWT merupakan salah satu bentuk dari keimanan saya




19
Puasa sunnat akan melatih kesabaran saya, baik terhadap kenikmatan maupun terhadap cobaan




20
Dengan mujahadah akan menepis rasa sabar saya




21
Saya memohon ampun dengan sungguh-sungguh pasti taubat saya diterima




22
Setiap saya bersyukur nikmat saya bertambah




23
Tawakal tidak memberikan ketenangan jiwa pada diri saya




24
Sebaiknya saya memohon ampun satu tahun sekali




25
Jika memberi kepada orang yang membutuhkan membuat saya menjadi miskin




26
Setiap saya berbuat baik dan beribadah dengan ikhlas akan mendapatkan pahala dari Allah SWT




27
Dengan selalu bersyukur atas segala nikmat-Nya, akan menjadikan saya lebih senang




28
Saya selalu bersyukur setelah saya mendapatkan rezeki




29
Saya tidak selalu memiliki sifat ridha




30
Dengan membaca Al-Qur’an dosa-dosa saya akan terhapus




31
Sedikit atau banyak bershodaqoh membutuhkan keihlasan saya






No comments:

Post a Comment